Citrust.id – PMII Majalengka menyatakan mosi tidak percaya kepada DPR. Mereka menilai pengesahan Omnibus Law terburu buru dan banyak poin yang masih kontroversial. PMII meminta proses pembentukan Undang-Undang Cipta Kerja lebih partisipatif dan tidak eksklusif.
Ketua PMII Majalengka, Aef Saefullah, mengatakan, proses pembuatan UU Cipta Kerja seharusnya dilakukan dengan elemen masyarakat yang bersangkutan guna menyerap aspirasi. Dengan demikian, proses pembentukannya tidak melanggar prinsip kedaulatan rakyat sesuai Pasal 1 ayat (2) UUD 1945. Selain itu, mencerminkan asas keterbukaan sesuai Pasal 5 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
“Kami meminta pemerintah daerah untuk sesegera mungkin menuntaskan persoalan RTRW dan RDTR di majalengka. PMII meminta pembatalan Omnibus Law dan pengkajian ulang. Selama pemerintah daerah belum mampu membuat regulasi RDTR yang memihak kepada petani,” katanya.
Dikatakan Aef, salah satu pijakan Omnibus Law adalah RTRW dan RDTR. Sementara, Kabupaten Majalengka belum mempunyai RTRW secara utuh dan RDTR yang belum direvisi. Maka dari itu, pihaknya menolak pengesahan Omnibus Law dan mengajukan judicial review hingga pemerintah pusat memastikan bahwa seluruh kabupaten/kota siap dan sudah mempunya RTRW dan RDTR secara utuh. PMII juga meminta pemerintah daerah untuk mengawal tuntutan mengenai UU Cipta Kerja dengan baik.
Aef melanjutkan, pada dasarnya Omnibus Law adalah UU yang ditujukan untuk menyederhanakan regulasi yang ada agar tidak timpang tindih. Omnibus Law juga memberikan kepastian hukum yang jelas terhadap aturan yang dituangkan di dalamnya. Selain itu, untuk mendorong pemulihan ekonomi nasional dan membawa Indonesia memasuki perekonomian global untuk mewujudkan masyarakat yang makmur, sejahtera, dan berkeadilan.
“Namun, apakah relevan ketika seluruh dunia hari ini sedang memfokuskan diri pada penangan Covid-19, tetapi DPR RI malah melakukan pembahasan dan pengesahan UU yang menuai banyak kontroversi ini” Lagi-lagi DPR RI terburu buru mengesahkan UU Cipta kerja di tengah pandemi Covid-19,” sesalnya.
Aef menambahkan, salah satu pijakan utama UU Cipta Kerja yang katanya membangun iklim investasi dan upaya membangun lapangan kerja adalah RTRW dan RDTR. Namun, hingga saat ini tidak lebih dari 100 RDTR yang sudah ada. Sementara, jumlah RDTR yang harusnya sekurang kurangnya 514 RDTR, masih dalam pembahasan tata ruang yang dimana sanksi yang dimuat dalam UU Tata Ruang Nomor 26 Tahun 2007. Sanksi yang diberikan pada korporasi apabila bermasalah mendapatkan denda tiga kali lipat dari sanksi yang dimasukan.
Sedangkan denda yang dijatuhkan menurut Omnibus Law hanya sepertiga kali dari pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69, Pasal 70, Pasal 71, atau Pasal 72. Hal itu akan membuat korporasi seakan lebih berani untuk mengekploitasi lahan.
Begitu pula UU Cipta Kerja mengenai ketenagakerjaan. Pasal itu menambahkan pasal 88C yang menghapuskan UMK sebagai dasar upah minimum pekerja. Hal itu dapat menyebabkan pengenaan upah minimum yang dipukul rata di semua kota dan kabupaten, terlepas dari perbedaan biaya hidup setiap daerah.
Ketentuan itu otomatis akan menurunkan tingkat upah minimum. Konsekuensinya, banyak pekerja yang tidak lagi cukup untuk menutupi biaya hidup harian mereka. Hak mereka atas standar hidup yang layak akan terdampak.
“PMII Majalengka dengan ini kecewa terhadap putusan DPR dalam Omnibus Law karena menghilangkan poin untuk rakyat mengajukan keberatan terhadap penyusunan dokumen amdal sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 26 UU No 32 tahun 2009,” ujar Aef.
Selain itu, dihilangkannya komisi penilai amdal sebagai instrumen penguji kelayakan atas dokomen, metode analisis amdal, serta desain teknologi dan produksi yang digunakan demi terciptanya keseimbangan sektor ekonomi dan lingkungan. Dihilangkannya komisi penilai berpotensi memperparah kerusakan lingkungan, terutama di sekitar kawasan industri.
Termasuk Pasal 93 ayat (1) yang menyatakan setiap orang dapat mengajukan gugatan terhadap keputusan tata usaha negara. Namun, pada UU Cipta Kerja hanya ditulis Pasal 93 Dihapus. Termasuk juga dihapuskannya hak mengajukan gugatan ke PTUN apabila perusahaan atau pejabat tata usaha negara menerbitkan izin lingkungan tanpa disertai amdal.
“Sangat jelas, di sini DPR dan pemerintah berpihak pada kepentingan korporasi dan oligarki, tanpa peduli terhadap kerusakan lingkungan dan kehidupan rakyat. Ini adalah hal yang paling konyol. UU ini pantas disebut sebagai UU Cilaka karena pengesahannya hanya memperhatikan dan mengakomodasi kepentingan korporasi ataupun oligarki,” tegas Aef. (Abduh)