Catatan Dadang Kusnandar
Salah seorang petinggi Muhammadiyah Propinsi Jawa Barat belum lama ini saya hubungi melalui personal message (pm) media sosial. Saya menanyakan apa sajakah kegitan Milad (ulang tahun) yang akan diselenggarakan, terutama melihat sepinya Muhammadiyah Kota/ Kabupaten Cirebon menyoal 106 Tahun Muhammadiyah.
Hingga tulisan ini saya turunkan ternyata tidak ada jawaban. Maka untuk menyenangkan diri karena nama saya masih tercatat sebagai pengurus non aktif, saya coba menulis apa saja mengenai 106 Tahun Muhammadiyah.
Bila ada pembaca Muhammadiyah yang tersinggung dengan sajian di bawah ini, berarti saya berhasil memancing reaksi. Sepanjang bukan ujaran kebencian, saya yakin siapa pun anggota/pengurus Muhammadiyah bebas menulis apa saja di media massa.
Akan tetapi, pm saya dijawab oleh pengurus Muhammadiyah tingkat Kota Cirebon, namun sayang sekali jawaban pertanyaan saya yang sama itu singkat sekali: Durung Ana Tad. Artinya belum ada rincian kegiatan untuk meramaikan Milad 106 Tahun Muhammadiyah. Setahu saya biasanya ada lomba tenis meja dan sebagainya. Tapi entah kenapa tahun ini belum ada padahal sebentar lagi tanggal 18 November 2018.
Sebelumnya saya pun berkirim layanan pesan pendek (sms) kepada seorang pengurus non aktif menanyakan hal yang sama. Ini salinan sms tersebut: Mas, tahun ini Muhammadiyah pake simbol TA’AWUN UNTUK NEGERI. Umur sudah 106 Tahun tapi tampaknya Kota/ Kab Cirebon sepi dan sepoi-sepoi basah. Dari seberang sana ada jawaban: Isun gen ora ngerti, ana kadere meninggal kaya ali bustomi tek upai weruh tak ada respons.
Jawaban di atas cukup mengejutkan dan membuat kita mahfum bahwa organisasi besar tetap saja mesti dimanage oleh tangan-tangan yang iklas, tangan dingin yang siap bekerja membesarkan organisasi. Mestinya jawaban-jawaban di atas tidak muncul di ponsel saya seandainya Muhammadiyah Cirebon melaksanakan fungsi dan peran sosialnya secara maksimal. Namun begitu kadang definisi peran sosial secara maksimal pun debatable, dan orang Muhammadiyah itu pandai berdebat.
Keahlian bersilat lidah inilah yang pada gilirannya menyegerakan sebagian pengurus Muhammadiyah mendaftarkan diri dan telah tercatat di KPU sebagai DCT Anggota DPR/ DPRD periode 2019 – 2024. Sesuatu yang patut disyukuri dalam hemat saya karena siapa tahu taraf hidup mereka kelak meningkat kalau terpilih menjadi anggota dewan yang terhormat.
Hanya saja menurut saya para pengurus Muhammadiyah yang nyemplung jadi caleg, kenapa semuanya berdesak-desakan di Partai Amanat Nasional?
Apakah tidak ada parpol lain? Dan bila semua pengurus Muhammadiyah hanya ada di PAN berarti setali tiga uang, sejak 1999 Muhammadiyah = PAN.
Lho, kok jadi nyerocos ke parpol, padahal rencananya mau menulis mengenai Milad 106 Tahun Muhammadiyah. Untuk membuktikan cinta kepada Muhammadiyah salah satunya kita mengetahui apa dan bagaimanakah Muhammadiyah. Singkatnya, Muhammadiyah dalam perspektif saya. Setelah tahu barulah kita asik berkiprah yang dari situ bisa muncul kecintaan kepada Muhammadiyah.
Lebih asik lagi jikalau kecintaan tersebut kita tulis ramai-ramai untuk seterusnya dibukukan.
Pada sebuah rapat bersama pengurus Muhammadiyah Kota Cirebon di markasnya Jl. Pilang Raya sekitar tahun 2015 saya pernah mengajak Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Kota Cirebon untuk menulis apa saja yang diketahuinya tentang Muhammadiyah sepanjang 25-30 halaman. Saya menjadwalkan satu bulan waktu penulisan dan setelah itu naik cetak alias dibukukan.
Saat itu ajakan saya mendapat applaus dan disambut. Akan tetapi ajakan itu ternyata bagaikan nyanyi sunyi seorang bisu.
Ajakan yang hanya terhenti dalam rapat di meja pengurus tanpa realisasi. Seandainya ajakan menulis tentang Muhammadiyah kembali ditawarkan, masih relevankah diajukan kembali?
Milad 106 Tahun Muhammadiyah yang mengusung tema Ta’awun Untuk Negeri tidak berlebihan sekiranya jikalau diawali dengan pemahaman kita/ anggota dan pengurus Muhammadiyah mengenai duduk perkara organisasinya sendiri terlebih dahulu. []