Mencari Ujung Pangkal Pesantren Buntet

Oleh Nurdin M. Noer*

Memahami sejarah berarti memahami peristiwa yang terjadi pada masa lampau. Ia merupakan serpihan-serpihan yang lepas dan bahkan berantakan dari induk sejarah itu sendiri. Di sinim sejarah dan penulisannya harus dimaknai sebagai hasil rekonstruksi dari bukti-bukti yang ada.

Memang tak mudah untuk melakukan itu, karena seorang  penulis sejarah harus ikhlas jika hasil temuan dan rekonstruksinya tak sesuai dengan prarekonstruksi yang dirancang sebelumnya.

Sejarah dalam kaitan ini memiliki pengertian yang luas. Nancy F. Partner, profesor sejarah dari Universitas McGill, mengartikan sejarah sebagai totalitas peristiwa masa lalu, juga suatu  definisi yang lebih realistik yang bisa  membatasinya pada masa lalu. Penulisan sejarah merupakan catatan yang ditulis untuk mengetahui kehidupan manusia dan masyarakat pada masa lampau dan bagaimana sejarawan bisa berusaha memahaminya.

Islam dalam perkembangan sejarah di Tanah Air, masih mendominasi karakteristik tokoh-tokohnya. Terutama di Jawa, sebagian besar pelaku sejarah selalu dikaitkan dengan Islam. Bahkan Islam sendiri menjadi pusaran sejarah raja-raja pada masa kerajaan Islam mencapai masa keemasannya.  Islam telah menjadi agen sejarah itu sendiri.

Bukti yang jelas mengenai kecenderungan mistis dalam Islam di Indonesia telah memberi kesan bahwa kaum sufilah yang menjadi agen utama Islamisasi (M.C.Rickflefs, 2005 : 46). Menurutnya, Islamisasi di Indonesia bersamaan waktunya dengan periode ketika sufisme mulai mendominasi dunia Islam, setelah jatuhnya Baghdad ke tangan bangsa Mongol.

Bintang Irianto, sang penulis otodidak masalah sejarah mencoba membangun tantangan untuk menggali “kuburan budaya” seorang tokoh yang sesungguhnya telah kehilangan matarantai sejarah kehidupannya. Sumber-sumber yang digali ternyata hanya sebatas sumber  tersier yang bias.  Sangat sulit memang untuk mencari sumber primer maupun skunder terhadap tokoh yang disebutnya sebagai “Ki Muqoyyim” itu. Ia mencoba merekonstruksi  sekaligus menegakkan patahan-patahan karakter yang dijumpainya dalam berbagai referensi.

BACA JUGA:  Wabup Karna: Kelompok Informasi Masyarakat Penting untuk Diberdayakan

Ki Muqoyyim sesungguhnya merupakan seorang tokoh sejarah yang tetap hidup di kalangan pesantren. Tokoh yang disebut-sebut sebagai pendiri Pesantren Buntet itu seringkali dikaitkan dengan kisah-kisah ajaib yang dituturkan masyarakat dari mulut ke mulut. Konon, seperti cerita yang beredar selama ini, Ki Muqoyyim pernah ditolong ikan hiu (mungkin lumba-lumba) ketika kapalnya karam saat berangkat haji ke Mekkah. Di lautan lepas itulah ia terkatung-katung sendirian hanya dengan mengandalkan sebilah kayu pecahan kapal.

Namun ajaib, sesaat ia meminta pertolongan kepada Allah, seekor ikan berkulit halus tiba-tiba mendekati dirinya dan mempersilakan ia naik ke punggungnya. Hingga kini masih ada anggapan bahwa anak cucu Ki Muqoyyim pantang memakan daging ikan cucut (hiu). Padahal seperti diketahui banyak orang, ikan hiu merupakan ikan ganas pemangsa manusia dan binatang laut lainnya. Bisa jadi anggapan itu salah, karena yang dimaksud dengan hiu adalah lumba-lumba, sejenis hiu jinak.

Lepas dari dongeng yang beredar di masyarakat, Ki Muqoyyim jelaslah bukan tokoh khayalan. Meski lantaran ketokohannya, banyak kisah yang menyangkut dirinya dilebih-lebihkan oleh sang pencerita. Ia memang tokoh yang pernah ada. Hanya saja untuk menjelaskan tokoh Ki Muqoyyim ini secara utuh masih memerlukan penelitian lebih lanjut. Di sini Bintang Irianto baru bisa menuliskan gejala, belum pada tahap rekonstruksi.

Pemikiran-pemikiran Ki Muqoyyim sendiri belum mampu digali secara tuntas. Meski demikian buku ini bisa dicatat sebagai langkah awal untuk penggalian sejarah tokoh-tokoh ulama lokal di Tanah Air. []

*Penulis adalah pemerhati budaya lokal.

Komentar