Kobong 2

Catatan Dadang Kusnandar

Di bawah ini adalah kutipan kisah Ramayana yang monumental.

Kisah perlawanan, kesetiaan, cinta, persaudaraan, dengan ikon: Api yang membakar alias Kobong. Setelah selesai dengan urusannya menemui Shinta, Hanuman tidak segera pergi untuk melapor kepada Rama, namun sengaja membuat huru-hara di kerajaan Alengka dengan merusak keasrian Taman.

Dia ingin menjajagi sejauh mana kekuatan angkatan perang Alengka. Rahwana sangat marah mendengar huru-hara ini dan Hanoman pun akhirnya tertangkap oleh Indrajid putera Rahwana.

Rahwana bermaksud membunuh Hanoman, namun dicegah oleh Kumbakarna. Rahwana tampaknya tidak suka dengan tingkah Kumbakarna, sehingga diusirlah sang adik dari Kerajaan Alengka. Hanoman tetap dijatuhi hukuman mati dengan cara dibakar hidup-hidup.

Membakar hidup-hidup Hanoman ternyata bukan tindakan yang tepat, karena ternyata malah menjadi malapetaka bagi Alengka.

Sang kera putih bukannya mati terbakar, namun merajalela menggunakan api yang berkobar pada tubuhnya untuk membakar kerajaan Alengka. Bahkan dia berhasil melarikan diri dan melaporkan peta kekuatan angkatan perang Alengka kepada Rama Wijaya.

Api merupakan perwujudan amarah/ amuk tiada tara.

Tiupan angin di musim kerontang yang berdasarkan keterangan BMKG melingkupi Pulau Jawa hingga akhir November 2018, potensial menyebarkan api ke berbagai arah mata angin. Itu sebabnya kebakaran hutan tak terhindar di Kalimantan. Itu pula penyebab penyakit ISPA akibat asap yang menutup semua pandangan serta mengganggu pernapasan. Api juga lah yang meluluhlantakkan toko dan kios pedagang di berbagai kota.

Lalu apa hubungan kisah Kobong Hanoman dengan konteks kekinian?

Sebagaimana mahfum adanya, tahun politik senantiasa mengiringi perjalanan Indonesia. Dari Pilkada, Pilpres, dan Pileg–menandakan belitan politik yang terus melingkar. Peristiwa-peristiwa politik itu sebaiknya bukan penyebab Kobong. Bukan peletup Kobong yang digambarkan dengan kibasan api di ekor Hanoman yang membakar Kerajaan Alengka.

BACA JUGA:  Buku (1/2)

Tahun politik jangan dimaknai sebagai Tahun Kobong yang meluapkan amarah. Sejumlah politisi yang tengah bertarung memperebutkan kuasa dan singgasana, biarkan itu sebagai bagian demokrasi yang harus digapai. Dengan demikian kekuasaan (Trias Politica) dapat berjalan dengan baik apabila mindsetĀ  tentang politik tidak semata-mata berangkat dari persepsi kita yang menyatakan bahwa politik itu buruk dan busuk.

Tahun politik 2018/2019 dan seterusnya adalah tahun milik anak cucu kita yang belum banyak tahu dan menikmati indahnya Indonesia. Mempertimbangkan hal itu jangan sekali pun menjadi pelaku Kobong yang membakar keasrian Taman Indonesia.[]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed