Citrust.id – Dalam situasi pandemik Corona yang telah berlangsung beberapa bulan terakhir, disinformasi mengenai penyakit tersebut sudah banyak beredar di masyarakat. Mulai dari cara penularan, kota yang tertular, tokoh-tokoh yang tertular hingga perilaku berlebihan dari masyarakat. Informasi palsu (hoaks) pun tersebar luas di ranah media sosial sehingga menimbulkan kepanikan tersendiri bagi publik.
Pakar Ilmu Komunikasi Universitas Islam Bandung, Muhammad Fuady, menjelaskan, penyebaran hoaks memang selalu masif dalam situasi krisis. Publik berada dalam situasi ketidakjelasan dan membutuhkan informasi mengenai Covid-19 untuk memperoleh kepastian, terutama apa yang sebaiknya mereka lakukan dalam menanganinya.
“Sumber informasi yang paling mudah diakses adalah media sosial. Sayangnya, kebiasaan mengkonsumsi informasi tanpa melakukan cek dan ricek membuat netizen potensial terpapar hoak.
Menurutnya, kemasan hoaks bermacam-macam. Bisa kelakar, tapi bisa berujung serius. Seperti halnya hoaks mengenai produk ponsel asal Cina yang menularkan virus Corona.
“Bila disusuri, ada ratusan hoaks yang beredar tentang Corona. Masyarakat kita mudah terpengaruh. Harusnya kita belajar dari pemerintah Singapura yang sangat ketat dalam urusan informasi sehingga masyarakatnya terhindar dari pengaruh berita palsu,” ujarnya.
Pendapat itu diamini Tatiana Gromenko, pendiri SGB, digital platform yang khusus membahas tentang Singapura bagi pelancong asal Indonesia.
Dikatakan Tatiana, pemerintah Singapura mengelola informasi dengan sangat ketat untuk mencegah ketakutan dan kepanikan di tengah masyarakat.
“Takut dan panik bisa merusak banyak hal, tidak saja dari ekonomi namun juga psikologis. Karena itulah, pemerintah sangat berhati-hati dalam menyebarkan informasi. Meski demikian, informasi yang disampaikan tetap terbuka dan yang terpenting adalah akurat. Tidak ada data apapun yang dibagikan ke masyarakat kecuali sudah melewati proses verifikasi yang ketat,” tuturnya kepada Citrust.id, Kamis (26/3).
Tatiana mengungkapkan, keterbukaan informasi di Singapura tentang Corona memungkinkan publik untuk mengetahui klaster-klaster yang beresiko tinggi, tentu dengan tetap merahasiakan identitas pasien.
“Misalnya, riwayat kontak dan penularan. Setiap kasus penyembuhan juga diumumkan,” tutur wanita Rusia yang fasih berbahasa Indonesia tersebut.
Edukasi secara masif pun dilakukan pemerintah Singapura untuk meminimalisasi potensi masyarakat tertular. Seperti upaya pencegahan yang perlu dilakukan, termasuk prosedur yang harus dijalankan saat mulai terlihat gejala mengidap Corona.
“Intinya, manajemen komunikasi sama pentingnya dengan manajemen penanganan pasien. Ini sudah menjadi standar operasional pejabat pemerintah di Singapura,” ungkapnya.
Selain itu, tutur wanita yang pernah tinggal di Indonesia itu, pemerintah Singapura menjaga sumber informasi dari satu pintu. Tidak ada kesimpangsiuran antara satu pejabat dengan pejabat lain yang menimbulkan kebingungan di tengah masyarakat.
“Biasanya ini disebabkan karena adanya ego sektoral dan ketidaksensitifan pemegang kebijakan terhadap isu Corona sehingga semua ingin berbicara,” katanya.
Tatiana menyarankan agar masyarakat Indonesia tidak panik yang berlebihan. Masyarakat juga hendaknya selektif dalam menerima informasi dari sumber-sumber yang tidak kredibel.
“Kuncinya ada pada sumber informasi yang kredibel, terbuka, transparan dan edukatif,” pungkasnya. (Haris)