Oleh Dadang Kusnandar
Jamaah Pengajian NU Kota Cirebon
BERDEKAP erat dengan dunia maya, penggunanya bisa menjadi mahluk individual yang hanya peduli pada kepentingan sendiri. Tragisnya kepentingan itu seolah terpenuhi melalui dunia maya. Virtual Reality, dua patah kata yang kontradiktif.
Mana mungkin sesuatu yang nyata bisa berdampingan dengan dengan yang maya/ tidak nyata. Dan internet mematok idiom tersebut sebagai kredo. Padahal sejak dulu Plato mengatakan adanya ketidakmiripan antara dunia ide dengan realitas.
Kata filosof Plato, realitas merupakan gambaran tidak sebenarnya dari dunia ide. Terdapat dikotomi yang kasat mata antara ide (maya, virtual) di satu sisi dengan realitas (kenyataan, fakta) di sisi lain.
Maka memadukan dua patah kata (baca: realitas virtual) yang berseberangan makna sesungguhnya merupakan wujud pendangkalan itu sendiri.
Namun demikian, tidak seorang pun mampu menolak kehadiran teknologi. Teknologi dimakzulkan sebagai Dewa Penyelamat peradaban, ia pun setara dengan Dewi Fortuna yang mampu menempatkan seseorang (dan bangsa) pada kedudukan terhormat.
Tahun 2000 lalu seorang pria yang berdomisili di sebuah dusun terpencil di Turki, tiba-tiba jadi terkenal setelah tiga bulan memasang homepage melalui aplikasi internet.
Ia bahkan masuk dalam urutan ke-100 orang-orang yang paling berpengaruh di dunia versi majalah Forbes terbitan Inggris. Ia terkenal karena homepage-nya banyak dikunjungi follower.
Dalam sebulan terakhir, lelaki itu (saya hilap namanya) kerap mendapat undangan khusus untuk bertemu dengan penggemarnya di beberapa kota di Amerika Serikat.
Malahan ia sempat diwawancara khusus oleh CNN meski bahasa Inggrisnya putus-putus. Di tahun 2000 itu gawai belum secanggih saat ini.
Juga belum ada versi android. Lelaki asal Turki itu menggunakan computer (PC) untuk berselancar di dunia maya.
Di atas tadi adalah cerita positif internet yang saya dengar dari Radio BBC Inggris. Akan tetapi jika Anda ingat filmThe Net yang dibintangi aktris cantik Sandra Bulock, internet bisa membawa petaka bagi penggunanya.
Wanita muda yang semula iseng masuk ke situs jodoh akhirnya menghadapi berbagai kendala, termasuk upaya pembunuhan pada dirinya.
Sudah jelas ia ditipu sang lelaki, pacarnya yang bersua melalui dunia maya, ternyata seorang penjahat internasional.
Sebagai bangsa Indonesia yang cerdas dan bermoral tinggi, jangan mudah terimbas budaya kejut atau gegar budaya. Berbincang tentang kecepatan informasi kini tentu tidak lepas dari budaya suatu bangsa.
Internet hadir dari kisaran budaya masyarakat Barat yang individualis. Masyarakat yang sangat sadar akan privasi, prestise serta terbiasa menyebarluaskan prestasi diri.
Sedangkan Timur, umumnya dipandang masih cukup kuat memegang kebersamaan, solidaritas, serta hal lain yang berbalik diametral dengan Barat. Agaknya karena Timur (termasuk Indonesia) lebih ketat menganut sistem nilai, kepercayaan dan agama.
Dunia maya yang dalam keseharian mengintai kehidupan kekinian, mestinya tidak mengubur sistem nilai lama dan seketika menggantikannya dengan sistem nilai baru. Betapa pun setiap orang yang lahir pada peradaban modern ia punya genealogi yang merangkaikan dengan sistem nilai lama.
Demikian pula kehadiran internet tidak serta merta menggiring penggunanya menjadi mahluk individual dan asosial. Berbagai klub/ grup media sosial pengguna dunia maya harus bisa menghilangkan eksklusifisme kelompok yang dipacu melalui lompatan teknologi informasi.
Tancep kayon ~meminjam istilah pewayangan~ dari tulisan singkat ini adalah: Jangan sebarkan hoaks dan sampah informasi.***
Komentar