Oleh Dadang Kusnandar
SEJAK sore hari terakhir bulan Syaban 1438 H ini, ibu-ibu di kampung saya sudah sibuk berbenah diri. Mulai dari membersihkan badan yang kadarnya melebihi mandi junub hingga menelan waktu lama di kamar mandi. Selain itu mereka pun sibuk mempersiapkan untuk makan sahur hari pertama. Belanja hari ini, Jumat 26 Mei 2017 lebih istimewa dibanding hari sebelumnya.
Seperti halnya menyambut Ramadhan tahun lalu, dengan ukuran keuangan masing-masing keluarga, dengan kemampuan daya beli yang berbeda ~tetap saja ibu-ibu pandai menyisipkan uang bagi penyambutan bulan suci Ramadhan. Kondisi ekonomi nasional yang konon dikabarkan kurang bangkit tidak membuat ibu-ibu jera mempersiapkan penyambutan hari pertama Ramadhan.
Akan tetapi berdasar data World Bank pada bulan Maret tahun 2017, pertumbuhan ekonomi Indonesia bertambah untuk pertama kalinya dalam lima tahun terakhir, naik menjadi 5.0 persen pada tahun 2016 dari 4,9 persen pada 2015, meski ketidakpastian kebijakan global masih tinggi. Tentu saja ibu-ibu di kampung saya tidak peduli dengan data World Bank itu. Yang penting harga kebutuhan pokok alias sembako bisa terbeli dan murah. Pertumbuhan ekonomi, inflasi, fondasi ekonomi, kredibilitas fiskal, defisit neraca berjalan, proyeksi pertumbuhan PDB dan sebagainya: itu urusan para ekonom dan pemerintah.
Sepanjang harga kebutuhan pokok terjangkau, ibu-ibu masih tetap akan patuh kepada pemerintah. Terlebih memasuki memasuki bulan mulia, ketekunan beribadah jauh lebih menarik dibanding fluktuasi pertumbuhan ekonomi nasional. Pasar tradisional menggeliat dengan jumlah pembeli yang lebih banyak. Begitu pula pedagang sayur keliling lebih cepat habis lantaran diserbu ibu-ibu. Ramadhan dengan kata lain memberi berkah kepada para pedagang. Transaksi jual beli yang meningkat itu tentu saja menyemangati para pedagang untuk tetap bersyukur kepada Allah swt.
Lepas adzan Maghrib, giliran anak-anak yang cukup riuh menyambut Ramadhan. Kalimat-kalimat dzikir didengungkan melalui toa masjid dan mushola. Termasuk juga bacaan-bacaan doa hingga menjelang shalat Isya. Diteruskan dengan kuliah tujuh menit (kultum), shalat tarawih, dan tadarus; mushola dan masjid menjadi tempat favorit guna melaksanakan ubudiyah dan taqarub ilallah. Suasana agamis ini memperlihatkan kerinduan masyarakat muslim menyambut Ramadhan. Begitu berulang setiap tahun.
Julukan Cirebon Kota Wali agaknya terasa pada bulan Ramadhan. Semoga suasana ini terus berlangsung pada bulan-bulan Qomariyah seusai Ramadhan. Kepada kaum muslim yang tidak berpuasa agar menghormati saudara muslimnya yang berpuasa. Tidak makan minum dan merokok di tempat umum dan tempat terbuka. Demikian pula para pedagang makanan di siang hari agar menutup rapat warungnya dengan kain panjang hingga konsumen tidak terlihat dari luar.
Idiom terbalik, “Hormati yang tidak berpuasa” sesungguhnya merupakan penistaan agama. Pengguna idiom ini seharusnya malu kepada ibu-ibu dan anak-anak. []
*Penulis lepas, tinggal di Cirebon.