Film Dokumenter Kasus Penganiayaan TKI Erwiana S Diluncurkan di Hongkong

Ilustrasi

CIREBON (CT) –  Setelah kasusnya menjadi perhatian luas tahun 2014, seorang tenaga kerja Indonesia (TKI) Erwiana Sulistyaningsih menjadi aktivis yang mendesak perubahan kondisi kerja bagi lebih 300.000 pekerja rumah tangga migran di Hong Kong.

Majikan Erwiana, Law Wan-tung kemudian dijatuhi hukuman penjara enam tahun. Sejak itu, Erwiana menjadi simbol pembelaan hak-hak buruh migran perempuan. Banyak yang berharap, kasus Erwiana bisa membantu kondisi pekerja rumah tangga migran.

Film dokumenter “Erwiana: Justice for All” (Erwiana: Keadilan Bagi Semua) diluncurkan di Hongkong beberapa waktu lalu. Film itu bercerita tentang situasi para pekerja rumah tangga migran di Hongkong.

Erwiana dan banyak TKI lain juga hadir dalam pemutaran perdana film itu, yang mengisahkan tentang berbagai kesulitan yang mereka hadapi. Ada cerita tentang pelecehan, kecurangan dan eksploitasi oleh agen perekrutan, dan masih banyak sekali kasus.

Sebagian besar PRT migran di Hong Kong berasal dari Indonesia dan Filipina. Erwiana dan kawan-kawan aktivisnya mengatakan, baik negara asal pekerja maupun negara penerima harus menekan agen perekrutan swasta, yang sering memasang biaya sangat tinggi bagi para migran, sehingga mereka terjerumus dalam lilitan utang, bahkan sebelum mulai bekerja.

Sampai sekarang, paspor para pekerja migran masih sering disimpan oleh agen atau majikan, untuk mencegah para pekerja melapor atau melarikan diri.

Salah satu tuntutan utama para aktivis adalah penghapusan aturan kewajiban “hidup dalam” bagi PRT di Hong Kong. Aturan itu memaksa mereka untuk tinggal bersama majikan mereka. Sehingga hampir mustahil mereka bisa melapor atau pindah kerja, jika mendapat perlakuan kasar dari majikannya.

Para aktivis dan organisasi solidaritas sudah berulang kali menuntut perubahan aturan itu, bahkan sebelum kasus Erwiana. Tapi tuntutan mereka tidak didengar otoritas Hongkong.

Awal bulan ini, kelompok Justice Centre merilis laporan tentang situasi pekerja migran Hongkong. Menurut laporan itu, satu dari enam pekerja rumah tangga migran, atau sekitar 50.000 orang, berada dalam kondisi “kerja paksa”. (Net/CT)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *