Oleh: Sudrajat (Pengamat Sosial)
AWAL kemunculan konsep jurnalisme warga (citizen journalism) adalah gerakan berkaitan dengan civic journalism atau public journalism di Amerika Serikat setelah pemilihan presiden 1998. Gerakan tersebut muncul karena masyarakat mengalami krisis kepercayaan terhadap media-media mainstream dan kecewa terhadap kondisi politik pada masa itu. Inti dari jurnalisme warga ialah masyarakat berperan sebagai objek sekaligus subjek berita.
Belakangan, gerakan jurnalisme waga mendapat momentum kemudahan saat kecepatan perkembangan teknologi informasi dengan segala dukungan perangkat canggihnya. Sehingga dengannya begitu mudah informasi dapat disajikan melalui media sosial (medsos) seperti facebook, instagram, tweeter dan lainnya. Dan dampaknya memang serius sekali, karena telah megubah perspektif dan gaya hidup baru dalam banyak dimensi. Dimensi sosial, politik bahkan ekonomi.
Transformasi teknologi informasi digital mampu menyuguhkan kemudahan informasi hingga mengalir deras menembus batas rumah bahkan kamar-kamar privasi kita, bukan hanya dalam hitungan hari atau jam namun “detik”.
Pertarungan Narasi
Implikasi medsos seperti sudah menjadi pameo “berhasil mendekatkan yang jauh, namun menjauhkan yang dekat”. Tak terkecuali, produk jurnalistik seperti media online pun tumbuh subur bak jamur dimusim hujan. Dampak positifnya, tentu saja berlimpah. Semua peristiwa di belahan dunia manapun seperti ada dalam genggaman tangan kita hingga dapat diakses kapanpun dan dimanapun.
Sayangnya perkembangan informasi digital tadi asimetri dengan “kesadaran literasi” masyarakat yang masih rendah. Sehingga masyarakatpun “terpapar” efek buruk dari konten negatif yang mengandung unsur hoaks, provokasi, radikalisme, kriminal, kekerasan, bahkan pornografi. Warga, selalu dalam pihak yang kalah dalam “pertarungan narasi”.
Tingkat nalar kritis masyarakat yang rendah memang menjadi ceruk yang subur untuk menebar opini kelompok tertentu untuk mendikte atau menggiring komunikan (penerima pesan) agar menjadi follower, serta influencer sesuai dengan pesan (message) yang ingin disampaikan. Harapannya tentu untuk dapat memenangi “pertarungan narasi”.
Partisipasi Warga
Sebagaimana prinsip dari jurnalisme warga (citizen journalism), maka mendorong “partisipasi warga” utuk aktif dalam kegiatan jurnalistik melalui berbagai lini media informasi yang tersedia mestinya sebuah keniscayaan. Kita tahu bahwa pada 2014 saja pengguna internet (netter) di Indonesia menempati ranking 6 dan pada Pada 2017, eMarketer memperkirakan netter Indonesia mencapai sekitar 112 juta orang, mengalahkan Jepang di peringkat ke-5 yang pertumbuhan jumlah pengguna internetnya lebih lamban. (https://kominfo.go.id).
Tujuan mendorong partisipasi warga dalam kegiatan jurnalistik adalah menumbuhkan kesiap siagaan warga dalam mengantisipasi dan meminimalisir konten-konten informasi yang bersifat “sampah” yang hanya menciptakan kebisingan (noise) dalam ruang social. Karena dampaknya hari ini amat kita rasakan. Dimana kohesi social kita terganggu bahkan terbelah akibat gesekan sosial sebagai imbas dari “pertarungan narasi” di dunia maya yang dikonsumsinya hanya berdasarkan atas “kesadaran naïf” bukan “kesadaran kritis”nya.
Semoga dengan upaya keras dari semua pihak dalam membangun kesadaran warga ikut bergiat dalam jurnalisme warga, kelak public dapat menikmati konten-konten jurnalistik yang edukatif, obyektif, positif, faktual, aktual dan akuntabel. (*)