oleh

Cirebon dan Potensi Kajian Arkeologi Kolonial (1)

Oleh Umar Alwi Muhammad

SELAMA mengikuti mata kuliah Arkeologi, saya belum pernah mendengar gagasan serta praktik dalam menyoal peninggalan dengan nilai historis tinggi. Khususnya, menyinggung pewarisan bangunan yang didirikan pada zaman kolonial. Padahal, jika kita telisik lebih jauh, di Cirebon banyak bangunan dengan arsitektur Belanda. Gedung-gedung di daerah Cangkol misalnya, banyak berdiri bangunan serta tempat ibadah yang ritual peribadatannya masih berlangsung hingga kini.

Cirebon, jika kita tarik dalam kajian arkeologi, pembabakan arkeologi semacam Hindu-Budha, Islam, kolonial, juga kemerdekaan, peradaban melalui zamannya pernah terjadi di Cirebon. Dalam buku A Sobana Hardjasaputra, dkk (Cirebon dalam Lima Zaman, 2011),  tampaknya tepat untuk membaca dan mempelajari perwajahan sejarah di Cirebon. Pasalnya, lima zaman seperti masa Hindu-Budha, Islam, Belanda, Jepang, juga kemerdekaan, dapat ditemukan bukti-bukti serta historiografinya. Kategori semacam ini patut dipertahankan guna mengembangkan khazanah keilmuan sejarah di Cirebon. Namun, sampai kini, persoalan arkeologi masa kolonial tidak banyak dibahas serta disinggung dalam wacana kesejarahan Cirebon. Sejarah Cirebon hanya menarik masa kerajaan Islam dengan segala peradaban juga keunggulannya.

Dalam pembabakan arkeologi, Cirebon bagi saya adalah peninggalan-peninggalan kolonial yang menjadi kajian tersendiri seiring merebaknya pembahasan arkeologi keislaman. Kita lihat di beberapa desa seperti Trusmi, Depok, dan Sitiwinangun, banyak masjid kuna berdiri satu zaman dengan awal perkembangan Islam. Buku-buku yang menyinggung kesejarahan Cirebon pun banyak mengulas tinggalan masa Islam di bawah kerajaan Cirebon. Masjid Sang Cipta Rasa, Pajlagrahan, dan Masjid Panjunan, salah satu ciri dan contohnya. Adakah dalam buku-buku bangunan sejarah di Cirebon membahas lebih lanjut peninggalan-peninggalan di sepanjang Jalan Yos Sudarso (Cangkol)?

Menulis tentang kolonial, bukan berarti mengulang sejarah bagaimana pedih dan sakitnya dijajah bangsa Eropa seperti Portugis juga Belanda. Persoalan ini lebih mengutamakan pada pengembangan ilmu serta peradaban berlangsung pada suatu masa. Karena menulis sejarah—dalam perjalanannya, sejak dulu hingga kini, tidak lepas dari pengaruh sosial-politik dan budaya. Maka, menurut Abdurrahman Surdjomiharjo (2012), menulis sejarah paling baik adalah lepas dari latar belakang manapun serta kepentingan apapun.

Berangkat dari landasan demikian, tampaknya mengungkap peninggalan atau arkeologi kolonial menjadi penting seiring ideologi juga budaya yang mendominasi penulisan serta pengungkapan sejarah. Hal ini banyak ditemukan dengan pengertian historiografi. Menurut Abdurrahman Surdjomiharjo, historiografi dalam coraknya terbagi tiga jenis: Pertama, ia bersifat ideologis; Kedua, akademis, dan; Ketiga, warisan. Ciri demikian menjadi gambaran bahwa menuliskan sejarah tidak bisa lepas dari pengaruh lingkungan juga sosial penulisnya.

Mengenai warisan atau arkeologi kolonial, peninggalannya menjadi momok. Karena selain membangun peradaban, kedatangan kolonial juga memiliki misi terselubung seperti gold, glory, dan gospel. Ini tak hanya terjadi di Cirebon. Historisitasnya menjadi terisolir jika diungkap melalui peninggalan arkeologi-arkeologi masa kolonial semata. Hingga kemudian, kehadirannya pun hanya bisa dilihat lewat megahnya bangunan serta seni-seni arsitektur dengan corak Eropasentris yang diklaim sebagai kekayaan peninggalan sejarah Cirebon di masa Hindia-Belanda.
*) Penulis bergiat di Lingkar Jenar.

Komentar