BPMPT Jabar Cabut Banding Izin Lingkungan PLTU Cirebon 2, Nelayan: Pembangunan Harus Dihentikan

Jakarta (CT) – Kepala Badan Penanaman Modal dan Perizinan Terpadu (BPMPT) Provinsi Jawa Barat selaku tergugat dalam perkara Izin Lingkungan PLTU Cirebon 1 x 1.000 MW, telah mencabut permohonan banding terhadap putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Bandung (PTUN) Bandung dengan nomor 124/G/LH/2016/PTUN-BDG pada tanggal 1 Agustus 2017.

Para penggugat yang tergabung dalam organisasi Rakyat Penyelamat Lingkungan (Rapel) mengetahui pencabutan permohonan banding tersebut, melalui pemberitahuan dari PTUN Bandung yang disampaikan oleh tim kuasa hukumnya, yakni Advokasi Hak Atas Keadilan Iklim.

Langkah pencabutan permohonan banding tersebut menunjukkan bahwa pihak tergugat mengakui kesalahannya yang fatal, yakni penerbitan Izin Lingkungan PLTU 2 bertentangan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Cirebon Tahun 2011-2031.

“Dengan dicabutnya permohonan banding oleh tergugat, seharusnya kita kembali lagi ke putusan PTUN, yaitu SK Izin Lingkungan PT CEPR cacat yuridis dan harus dicabut. Sekarang kami sedang menunggu penetapan dari PTTUN Jakarta, dan Jum’at (11/08) kami sudah ajukan surat ke PTTUN untuk mengklarifikasi status proses hukum banding,” terang Lasma Natalia, yang mewakili tim kuasa hukum saat melakukan konfrensi pers di gedung YLBHI Jakarta, Senin (14/08).

Jika putusan PTUN Bandung tertanggal 19 April 2017 menjadi berkekuatan hukum tetap (inkracht), maka BPMPT Provinsi Jawa Barat selaku tergugat harus melaksanakan perintah dalam amar putusan dari putusan PTUN Bandung tersebut, diantaranya adalah mencabut Izin Lingkungan PLTU 2.

“Sebagai konsekuensi hukumnya, Izin Usaha PT CEPR juga harus dicabut dan kegiatan harus dihentikan,” tegas Lasma.

‎Sementara, Rapel menyakini bahwa perjuangan melalui jalur hukum ini diperlukan sekalipun menemui berbagai tantangan.‎ Seperti adanya upaya dari perusahaan untuk menghentikan atau mencabut gugatan.

“Kami ingin pemerintahan Jokowi menghentikan pembangunan PLTU 2, karena kita bisa lihat dampak dari PLTU 1 sudah cukup buruk bagi nelayan sekitar,” ujar Sarjum, anggota Rapel yang juga ketua nelayan pinggiran Kanci Kulon.

‎Senada, Walhi Jabar berharap agar tergugat segera mematuhi putusan hukum tersebut. Pasalnya, selain masalah yuridis, juga ada masalah sosial yaitu hilangnya lapangan pekerjaan para nelayan, dampak kesehatan yang tidak diperhitungkan dengan baik, sosial dan budaya.

“Putusan ini menunjukkan penegakan hukum terhadap salah satu contoh buruk pelaksanaan proyek 35.000 MW, dimana banyak perundang-undangan yang ditabrak. Dengan BHT-nya putusan ini, maka kita bisa lihat bahwa suatu proyek yang dipaksakan ketika bertentangan dengan rencana tata ruang yang berlaku, dan jelas-jelas melanggar hukum memiliki resiko hukum yang tinggi,” tandas Wahyu Widianto, Manajer Advokasi Walhi Jabar. (CT-207)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *