-Dok istimewa
-KARTOSOEWIRJO sebelerum dieksekusi, sempat dipertemukan dengan keluarga.
Oleh: Nurdin M Noer*
BAHASA “prokem” masyarakat Cirebon. Model bahasa ini pernah berkembang pada tahun 1960an hingga 1970an, yakni pada masa “pagar betis” untuk menumpas gerombolan DI/TII. Konon basa walikan dibangun untuk membedakan mana gerombolan DI/TII dan mana pejuang local yang berseberangan pandangan politiknya. Sebab dipastikan kalangan DI/TII tak akan memahami bahasa semacam itu. Hasilnya memang tokcer,Kartosiwirjo dan anggotanya DT/TII sangat sulit membedakan, mana anak buahnya dan bukan.
Basa walikan prokem Cirebon memang tak memiliki aturan baku dalam penggunaannya. Namun biasanya kosakata yang ada di balik dalam penggunaannya. Contoh, kosakata “saya” diubah menjadi “yas”. “Kamu” diambil dari “sira” dan menjadi “ris.” “Orangtua” menjadi “malwut”, karena diambil dari kata “mal” asal kata dari “jalma” (Sunda) dan “wut” berasal kata dari “tuwa”. Nampaknya dari contoh tadi bisa dijadikan acuan untuk mebuat kosakata baru, namun ada istilah yang tak jelas rumusannya. Contoh “pung” sebutan untuk polisi, jika mengikuti aturan “walikan” tadi, maka menjadi “lopis.” Kosakata lain adalah “ntab” untuk sebutan terhadap pelacur. Padahal kosakata basa Cirebon untuk pelacur adalah “telembuk.” Bersetubuh yang adalam bahasa Sunda maupun Cirebon disebut “ngewe” (maaf, pen) dalam prokem Cirebon dinyatakan sebagai “Nyib”. Konon berasal kata dari “nyibam” yang artinya “nyelub” atau masuk ke dalam air.
Sangat sulit memang pada waktu itu untuk membedakan mana pihak republik dan DI/TII, karena kedua pihak tersebut bercampurbaur dengan masyarakat biasa, baik masyarakat Cirebon maupun Priangan.
A.H. Nasution (1978) memberikan catatan dalam bukunya Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia, pada sekira awal 1960an, saat itu kita belum menginsyafi proposri yang sebenarnya. Tendens ini sebenarnya telah lama terlihat,mulanya di daerah Purwakarta dan Ciamis Selatan, lalu di wilayah Cirebon. Kemudian tampakpula di daerah sebelah utara Garut, ditempat Kartosoewirjo didaerah Suffah dan termasuk di bilangan Bantarujeg.
Tentang Kartosoewirjo,Fadli Zon, memberikan catatan, misteri eksekusi wafatnya Imam dan Pimpinan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) Soekarmadji Maridjan Kartosoewirjo terungkap. Selama lebih dari 50 tahun, pemerintah Soekarno dan Soeharto menyembunyikan lokasi eksekusi sang Imam.
Selama ini Kartosoewirjo dipercaya masyarakat dieksekusi dan dikubur di Pulau Onrust, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. Bahkan ada makam yang disebut sebagai makam sang imam di sana. Ternyata salah besar. Sejarawan dan budayan Fadli Zon yang membuka misteri yang tersimpan lebih dari 50 tahun lalu itu. Lewat buku ‘Hari terakhir Kartosoewirjo: 81 Foto Eksekusi mati Imam DI/TII’, terungkap Kartosoewirjo dieksekusi mati dan dikuburkan di Pulau Ubi, Kepulauan Seribu.(NMN)***
*Penulis adalah pemerhati kebudayaan lokal.