‎Kisah Ramon Bocah Pengojeg Payung, Rela Kehujanan Demi Dengar Suara Ibu

CIREBON (CT) – Bagi sebagian anak, mengisi liburan dengan bermain atau menikmati berbagai macam wahana hiburan. Berbeda dengan Ramon (12), bocah asal Kelurahan Sidamulya, Kota Cirebon ini justru memilih bergelut dengan waktu dan guyuran hujan.

Ya, momentum liburan sekolah yang bertepatan dengan musim penghujan saat ini, ia manfaatkan untuk mencari berkah dan peruntungan dengan menjajakan jasa ojeg payung di sekitaran pusat perbelanjaan Kota Cirebon.

Berlarian menyisir setiap sudut-sudut keramaian. Sesekali menoleh kanan, kiri, depan, belakang sembari mengusap cucuran air yang mengalir di wajahnya yang penuh harap. Ia baru tersenyum saat dipanggil orang untuk mengantarnya menyeberangi rintik hujan.‎ Bermodal payung tua, bertelanjang kaki, sambil melontarkan kata “Om payung Om.. payung mba,” tawarnya kepada setiap orang yang ia hampiri.

Ramon tak pernah mamatok tarif kepada setiap orang yang menggunakan jasanya. Ia hanya menerima imbalan seikhlasnya. Meski hasil yang didapat tak sebanding dengan perjuangannya, mulai dari menyewa payung, berjalan tanpa alas kaki menuju lokasi yang menjadi peluang usahanya.

Guyuran hujan deras, tak jua melunturkan tekadnya mengumpulkan sedikit demi sedikit rupiah. “Kalau lagi rame dan banyak yang mau dipayungi, sekali hujan bisa dapet sampe 20 ribu,” tuturnya.

Menjadi seorang pengojeg payung, memang bukanlah pilihan hidup Ramon. Namun, sepak terjalnya dalam mencari nafkah diusianya yang terbilang dini, tak hanya ia lakoni sebagai ojeg payung cilik musiman saja.

Setiap malam, di saat anak seusianya tengah asyik berkumpul bersama keluarga atau bahkan terlelap dalam mimpinya, Ramon justru harus kembali bergelut dengan riuhnya kendaraan di jalanan kota dengan menjadi juru parkir.

Seolah tak peduli bahaya kendaraan yang sewaktu-waktu bisa saja merenggut tubuh gentarnya, Ramon tetap giat melakoni profesi tersebut. Hanya ada satu alasan, semua itu ia lakukan demi tercapainya suatu keinginan memiliki sebuah telepon genggam yang akan ia gunakan untuk menghubungi ibunya di pulau perantauan Riau.

Ya, alat komunikasi inilah yang menjadi alasannya dengan gigih dan keras bekerja tanpa mengindahkan segala sesuatu yang menjadi penghalang.‎ “Kalau markir, tiap malemnya bisa dapet 30 ribu. Itu juga sampe jam 01.00 WIB,” ucapnya.

Bukan hanya getir kehidupan yang bocah ini rasakan, diusianya yang menginjak 12 tahun, ia kehilangan kasih sayang orang tua yang utuh. Ibu kandung yang seharusnya menjaga, merawat dan memberi perhatian, justru meninggalkannya bersama sang ayah yang saat ini tinggal bersamanya.

Kesibukan ayahnya yang berprofesi sebagai sopir angkutan kota pula lah, yang membuat Ramon tidak mendapatkan perhatian lebih dari ayahnya. Maka, hal yang lumrah jika sebagai seorang anak, Ramon menginginkan kehangatan dan kebersamaan yang indah dalam hubungan keluarganya.

Pepatah bahwa “kasih ibu sepanjang jalan, kasih seorang anak sepanjang galah”, tidak berlaku bagi perjuangan seorang Ramon untuk mengejar kasih sayang ibu yang meninggalkannya menginjak ia dewasa.

Perpisahan kedua orangtuanya lah yang menjadikan Ramon kini, menjadi pribadi yang lugu namun terlihat kuat, tegar dan mandiri.‎ Dengan Handphone yang dibeli hasil jerih payahnya, akan menghantarkannya melepas rindu kepada ibu yang sekian lama menghilang dari pandangannya. (CT-108)‎

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *