Media Sosial Rentan Praktik Human Trafficking

  • Bagikan
Media sosial Rentan Praktik Human Trafficking
Noemie Kurta (kiri) dan Trigo Neo Starden (kanan), saat memberikan pemaparan dalam diskusi virtual tentang human trafficking, Sabtu (18/2/2023). (Foto: Haris/Citrust.id)

Citrust.id – Media sosial rentan praktik perdagangan orang atau human trafficking. Banyak pelaku human trafficking  yang memanfaatkan media sosial untuk menjerat korban. Perlu adanya penyebaran informasi yang masif, agar masyarakat tidak menjadi korban atau terjebak dalam perdagangan orang.

Hal itu menjadi salah satu pembahasan dalam diskusi virtual “Cyber Security untuk Pencegahan Penculikan dan Perdagangan Orang”, Sabtu (18/2/2023). Kegiatan tersebut menghadirkan narasumber Noemie Kurta, Trigo Neo Starden, dan Fifi Sofiah.

Noemie Kurta merupakan penulis muda berkebangsaan Perancis yang konsen dalam bidang keamanan dan teknologi. Trigo Neo Starden berlatar belakang pendidikan bisnis, maritim, dan hukum. Ia juga seorang seniman, jurnalis, dan pelestari alam, yang aktif membela hak asasi manusia. Sedangkan Fifi Sofiah adalah Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah (KPAID) Kabupaten Cirebon.

Noemie Kurta memaparkan, media sosial rentan praktik human trafficking. Sebanyak 70 persen korban human trafficking dijerat media sosial. Banyak yang tak menyadari, bahwa mereka tekah menjdi korban human trafficking. Ketidaktahuan mereka tersebut salah satunya karena faktor iming-iming atau bujuk rayu.

“Oleh karena itu, penting adanya penyebarluasan informasi atau bekal pengetahuan kepada anak muda, terutama kaum perempuan, tentang human trafficking,” ujarnya.

Ia menambahkan, human trafficking tidak melulu berupa pelacuran. Bisa juga dalam bentuk kerja paksa. Pengguna media sosial harus waspada jika ada orang atau pihak yang menawarkan pekerjaan dengan gaji tinggi, tetapi jenis pekerjaan maupun lokasinya tidak jelas.

“Setelah pekerjaan itu korban terima, pelaku akan menyita KTP, paspor, dan dokumen lain milik korban. Ini merupakan tanda-tanda yang sangat jelas, tentangt adanya praktik human trafficking,” terang Noemie Kurta.

Senada, Trigo Neo Starden mengatakan, penyebarluasan informasi tentang human trafficking bisa melalui media sosial dan media massa.

BACA JUGA:  KPAID Kabupaten Cirebon Respons Kasus Penganiyaan Anak di Pabuaran

“Melalui pemberitaan, kepedulian masyarakat terhadap pencegahan dan bahaya human trafficking akan terbangun,” ucapnya.

Sementara itu, Fifi Sofiah menuturkan, semua pihak, terutama pemerintah, punya tanggung jawab untuk menekan dan menanggulangi kekerasan dan pelecehan seksual terhadap anak. Pihaknya tidak jarang menerima laporan tentang kekerasan dan pelecehan seksual terhadap anak.

Bunda Fifi, sapaan akrabnya, melanjutkan, ia juga memberikan perhatian khusus terkait pernikahan di bawah umur. Pernikahan di bawah umur masih marak.

“Padahal undang-undang perkawinan telah mengatur usia pria maupun wanita untuk melakukan perkawinan, yakni minimal berusia 19 tahun,” katanya.

Menurut Bunda Fifi, banyak faktor yang mendasari perkawinan di bawah umur, seperti merasa sudah menjalin hubungan yang lama. Kehamilan juga menjadi salah satu pendorong terjadinya perkawinan di bawah umur.

“Warga yang menikah di bawah umur belum siap untuk membangun mahligai rumah tangga dengan baik. Ketika melahirkan, mereka pun akan kesulitan dalam mengurus dan membesarkan anak. Ujung-ujungnya bisa terjadi perceraian dan ribut tentang hak asuh anak,” pungkasnya. (Haris)

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *