Demokrasi Warisan dari Jiwa Tanpa Nama dan Jejak

Oleh ANA MELANI SAKMAD*

Judul Buku   : Laut Bercerita
Pengarang    : Leila S. Chudori
Penerbit        : Kepustakaan Populer Gramedia
Tahun terbit  : 2017. Cetakan Pertama, Oktober 2017

TANGAN dingin penulis wanita kelahiran Jakarta, Laila S Chudori kembali melahirkan karyanya setelah Pulang: sebuah Novel telah dirilis pada 2012 lalu.

Berhasil membeli novel berjudul “Laut Bercerita” tak membuatku langsung menggebu mengoyak lembar demi lembar novel itu. Setelah bersemanyam satu minggu di kamar kosan, Laut Bercerita akhirnya ku koyak sepanjang perjalanan Yogyakarta-Indramayu.
Buku setebal 379 halaman menemani perjalanan Jawa Tengah–Jawa Barat yang memakan waktu 6 jam 35 menit.

Belum sempat mencicipi bahagianya menjadi orang tua, aku harus terlebih dahulu meraba-raba dan merasakan sakitnya menjadi orang tua yang kehilangan anak, tanpa kejelasan apakah anaknya masih hidup atau mati, bahkan jika dibenturkan kepada kenyataan anaknya mati, dimana para oknum itu membuang jasad anak-anaknya, agar dapat dimakamkan secara layak dan diberikan batu nisan sebagai penanda kemana mereka harus pergi dikala rindu, kemana para orang tua itu harus berdoa layaknya orang tua– orang tua lain yang anaknya telah pergi mendahului menghadap tuhan.

Biru Laut adalah seorang mahasiswa UGM yang bertalenta menjadi seorang penulis dan kritikus di era Orde Baru. Keaktifannya dalam organisasi menyeret Laut sapaan akrab dari teman-temannya untuk berjuang menunaikan panggilan hati dalam membela hak rakyat, kaum tani dan buruh yang dijajah tanah dan kemerdekaananya oleh oknum-oknum dengan kedok pembangunan bangsa. Kinan, Naratama, Daniel, Sunu, Alex dan segenap nama lainnya menjadi kawan seperjuangan Laut.

Dalam novel ini penulis tak hanya menghidupkan satu tokoh, ada Asmara Jati yang diperankan menjadi adik Laut yang begitu cerdas, kritis dan sekaligus penengah antara pergerakan Laut dengan keinginan orang tuanya. Asmara menjadi sosok penguat, peneguh juga gambaran bagaimana dahulu adat jawa menempatkan posisi hubungan antara kakak–beradik dalam tatanan keluarga. Sekaligus penggambara sosok perempuan tangguh dengan kecerdasan dan keteguhan hati, serta kedewasaan yang dimiliki banyak perempuan di era itu. Sialnya, karakter Asmara seolah mempermalukanku sebagai “kids zaman now” yang cengeng dan banyak menyek-menyek lantaran cinta. Yang gundahnya sering berceceran di status sosmed. Wassalam.

Dibumbui dengan sekelumit kisah cinta penuh penantian pilu pun akan mengoyak pembaca sepertiku, untuk ikut merasakan posisi sebagai kekasih yang ditinggalkan, dengan segenap cinta yang bahkan belum dimulai. Asmara dan Anjani dibebankan tanggungan sebagai wanita merana yang kehilangan kekasihnya. Miris, mereka berisik akan demokrasi namun tak seberisik status dan beranda facebook temanku.

Kemalangan bukan hanya milik Laut, keluarganya dan teman-temannya, kemalangan ternyata sangat rajin berkunjung mendobrak setiap pintu rumah pada tahun-tahun itu. Sebut saja Jemilah yang harus menopang siksa yang sebenarnya milik Atikah Jamilah, seorang aktivis dalam gerakan Pemuda Rakyat. Sungguh malang Lah harus menukar posisi dengan Jamilah. Istri dari pimpinan Organisasi buruh yang bahkan tak tahu-menahu tentang aktivitas suaminya itu dipaksa menghibahkan umurnya dengan berpindah-pindah penjara dan berganti-ganti siksaan yang meremukkan seluruh jeroan tubuhnya.

Cerita kelam bukan hanya dapat dimiliki Jemilah dan Laut, para perempuan desa yang tidak tahu-menahu mengenai kerusuhan penculikan jenderal pun harus ikut kena angkut mobil oknum, tuduhan sebagai Gerwani seolah melegalkan para aparat yang keparat itu menyiksa tubuh-tubuh perempuan pembangun bangsa, dimana dari rahim mereka akan terlahir anak-anak penerus bangsa. Penyiksaan dan penangkapan secara sepihak sedang di obral besar-besaran. Seperti undian, kapan saja rakyat bisa dimasukan kepenjara.

Mural anjani seolah menjadi pertanda takdir, bahwa tak selamanya laki-laki selalu menjadi penolong perempuan, dalam serbuan lalat Intel. Terbukti, Anjani dan keluarganya justru menyelamatkan Laut dan mengamankan mereka di Save House. Dimana jejak asmara antara Anjani dan Laut bebas berkibar. Akh..
aktifis pun manusia yang masih bisa tergaet hatinya oleh sosok bening.

Seketika, sedikit usil aku pun bertanya tentang bagaimana pergerakan pemburuan PKI apakah sampai pula ke desaku, perbincangan singkat dengan Bapak menambah daftar panjang kisah-kisah ketragisan perburuan itu. Eretan, pesisir laut yang berjarak 20 kilometer dari tempatku tinggal ternyata doyan manusia. Banyak rakyat sipil yang dengan paksa dilabeli anggota pemberontak pemerintah dan anggota-anggota Gerwani dikarungi seperti rumput. Ditenggelamkan seperti sampah ke laut begitu saja. Nyawa manusia memang tak ada harganya kala itu.

Obrolanku dengan Bapak saat makan malam bersama membuatku terbayang adegan ayah Laut yang selalu menyediakan piring di sabtu sore menunggu kepulangan anaknya untuk ritual makan keluarga. Untung aku tak sesial hidup Laut.

Novel yang mengambil dua sudut pandang dari dua tokoh yang sudah bersepakat memiliki sandi-sandi komunikasi antar mereka ini, seolah saling menjawab kondisi dan fikiran masing-masing.
Pesan Laut yang disampaikan dalam diam dan tenangnya laut. Kepekaan Asmara dalam menangkap kode yang disampaikan Laut lewat tenangnya laut. Akh… kalau Asmara itu aku, tentu tak akan mampu membaca tanda pesan itu.

Bukan hanya menceritakan kronologis penghilangnya mahasiswa, novel ini menyisipkan cerita dimana asmara selalu terbumbui seks. Seperti dalam kisah penyembunyian Laut di rumah keluarga Anjani, saat kunjungan Alek ke kamar kost Asmara dan kunjungan Asmara ke tempat tigal Alex beberapa tahun setelah insiden penculikan. Penulis seperti menyampaikan kabar lama yang masih berulang hingga sekarang. Seks bebas memang tersambung dari peristiwa–peristiwa masa lalu. Awet mengakar hingga sekarang.

Dari sisi Anjani, aku pun melihat ego saat orang tua dalam keterpurukan, kehilangan anak laki-laki membuat para orang tua luput mempertimbangkan perasaan anak yang masih dalam pengawasan mereka. Anak yang masih rutin membuka dan menutup pintu rumah. Seorang anak yang masih ikut meramaikan meja makan mereka setiap sabtu sore, seorang anak yang juga ikut mencari saudaranya yang ilang bahkan sempat membantu membereskan pendidikan saudaranya untuk dapat lulus dari bangku Universitas. Kesialan yang tak hanya tersuguh bagi Anjani, namun dialami anak-anak dari para korban penghilangan di berbagai negara.

Semoga Indonesia dan seluruh negara lain menutup aksi kelam penghilangan, baik nyawa maupun identitas hidup seseorang. Tak akan terulang lagi tragedi kemanusiaan seperti ini. []

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *