Oleh Umar Alwi Muhammad
JIKA kita melewati Jalan Sisingamangaraja dan Yos Sudarso Kota Cirebon, maka sepanjang jalan di sebelah Timurnya disuguhi bangunan-bangunan bercorak Eropa. British American Tobacco (BAT) di Jalan Pasuketan juga demikian. Gedung yang beroperasi sejak 1924 ini, menjadi salah satu tanda bahwa Cirebon pernah didatangi Belanda. Jika sejenak mengabaikan misi penjajahan, bukti ini akan jadi modal fisik perkembangan sejarah terlebih arkeologi di Cirebon. Kajian arkeologi kolonial semacam ini, alangkah baiknya menjadi rekomendasi bagi sejumlah pihak untuk memperkaya kesejarahan Cirebon.
Menulis sejarah dengan sudut pandang Indonesiasentris, tampaknya menjadi penyebab kajian sejarah atau aarkeologi tidak banyak memunculkan eksistensi wacananya di hadapan publik. Apalagi jika menyoal bangunan bercorak Eropa di beberapa tempat, bermula dan berakhir hanya di Krucuk dan Cangkol. Di Kabupaten Cirebon juga tersisa Pabrik Gula Gempol Palimanan, Karang Suwung, dan di Kecamatan Karang Sembung. Di sana berdiri gedung-gedung serta pabrik warisan Hindia-Belanda yang mengandung potensi kajian arkeologi bercorak Eropasentris.
Dari beberapa peninggalan di Kota dan Kabupaten Cirebon, kajian arkeologi sepatutnya menyinggung dan memanfaatkan apapun yang telah ditinggalkan kolonial selama berdiam dan menjajah Cirebon. Sudut pandang Indonesiasentris, hanyalah tawaran politis dengan latar belakang sosial pada saat Indonesia baru mengalami masa kemerdekaan. Atau lebih tepatnya, masa revolusi ketika masyarakat Indonesia menaruh perhatiannya kepada pembangunan di segala aspek. Dari motif demikian, maka lahirlah corak menulis sejarah berbau kebangsaan Indonesia.
Namun, jika melihat realita penulisan sejarah Indonesiasentris, sangat kentara berlawanan dengan konteks ilmu arkeologi. Ketika sejarah bernapaskan semangat nasionalisme berlangsung, ternyata jejak kolonial masih ada dan peninggalannya dapat dilihat hingga kini. Di Kota Cirebon, khususnya wilayah Cangkol, bangunan-bangunan kolonial dilindungi undang-undang merupakan ciri bagaimana menulis sejarah Indonesiasentris dapat dipatahkan. Bukankah itu memunculkan banyak perdebatan tentang objektifnya menulis sejarah?
Dengan landasan demikian, saya melihat, bangunan-bangunan di Cirebon sekitar Jalan Yos Sudarso menjadi daya tarik tersendiri untuk diteliti lebih dalam. Bisa mengenai seni bangunan serta struktur, misalnya. Kegunaan gedung atau bangunan yang diorientasikan untuk persoalan administrasi, atau produksi bahan baku dengan motivasi menjadikan pusat ekonomi sebagai tujuan dan fungsinya. Atau tempat peribadatan yang bisa dilihat di depan Bank Indonesia Jalan Yos Sudarso Kota Cirebon.
Akhirnya, yang paling dinantikan dalam konteks penulisan sejarah dan kajian arkeologi benda-benda serta bangunan tinggalan kolonial di Cirebon adalah munculnya diskursus di hadapan publik. Buku-buku sejarah yang beredar tentang Cirebon masa lalu, banyak didominasi era Islam masuk dan berkembang di Cirebon. Padahal, bangunan-bangunan di sekitar dengan nuansa historis tinggi yang dibuat kolonial, sangat perlu juga diungkap dan diteliti. Seni macam apakah yang ditinggalkan kolonial selain keberhasilan membedakan fungsi keraton dengan pemerintahan? Bangunan-bangunan dengan model Eropa di sepanjang Jalan Sisingamangaraja dan Yos Sudarso, saya pikir, sangat mungkin menjadi kajian penting arkeologi kolonial di Cirebon.***
*) Penulis bergiat di Lingkar Jenar.