Wali Songo Itu Ulama dan Juga Umaro

Oleh Sutejo Ibnu Pakar*

Model Wali Songo yang diikuti oleh para ulama di kemudian hari telah menunjukkan integrasi antara pemimpin agama dan masyarakat yang membawa mereka pada kepemimpinan proaktif dan effektif. Pendekatan dan kearifan Wali Songo kini terlembagakan dalam esesni budaya pesantren dengan kesinambungan ideologi dan kesejarahannya.

Keberhasilan pendidikan Islam Wali Songo terhadap pendekatan penguasa tercermin dalam menyatukan unsur pemimpin agama dan negara. Dikotomi antara ulama dan raja, sebagaimana diteladankan oleh para pemimpin sesudah Nabi Muhammad (Khalifah Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman dan ‘Ali) tidak mendapatkan ruang dan tempat dalam ajaran dasar Wali Songo. Ajaran ini, sebagaimana dikemukakan Abdurrahman Wahid, adalah warisan Sunan Kalijaga sebagai grand desinger dan kemudian dipopulerkan oleh Sultan Agung. Namun demikian seperti dikemukakan di atas, pendidikan Wali Songo mudah ditangkap dan dilaksanakan.

Wali Songo dan kiai Jawa adalah Agent of Social changer melalui pendekatan kultural. Ide cultural resistence juga mewarnai kehidupan intelektual pendidikan pesantren. Subjek yang diajarkan di lembaga ini adalah kitab klasik yang diolah dan ditransmisikan dari satu generasi ke generasi berikut, yang sekaligus merujuk kepada keampu-an kepemimpinan kiai-kiai.

Pendirian pesantren ini dipandang sebagai upaya penting komunitas pesantren, karena mulai memperlihatkan sikap pesantren menentang hegemoni penjajah. Boleh dijuga diasumsikan motivasi politik yang ditujukan Pesantren Tebuireng adalah manifestasi kesadaran diri dan percaya diri paling tertinggi dari kaum pesantren.

Pada awal abad ke-20 M, Pesantren Tebuireng di bawah pimpinan KH. A. Wahid Hasyim (1916 M=1335 H) berhasil melakukan perubahan yang radikal secara kelembagaan berkenaan dengan kurikulum pesantren. Dia memasukkan pendidikan persekolahan (komunitas pesantren menyebutnya sistem madrasi) dengan mendirikan Madrasah Nidzamiyah di dalam lingkungan pesantren. Di madrasah itu diajarkan berbagai mata pelajaran yang oleh seluruh komunitas pesantren saat itu dihukumi haram dan yang mempelajarinya divonis kafir. Mata pelajaran yang dimaskud adalah: Berhitung, Ilmu Bumi, Sejarah, Bahasa Melayu, Bahasa Indonesia, dan Bahasa Belanda.

BACA JUGA:  Tim Densus 88 Polri Tangkap Jaringan JAT di Indramayu

Perkembangan pada masa-masa selanjutnya berhasil mencatat pesantren sebagai lembaga pendidikan agama (Islam) yang mampu melahirkan suatu lapisan masyarakat dengan tingkat kesadaran dan pemahaman keagamaan (Islam) yang relatif utuh dan lurus. Di sisi lain, sebagai salah satu lembaga pendidikan yang memegang peranan penting dalam penyebaran ajaran agama (Islam) prinsip dasar pendidikan dan pengajaran pesantren adalah pendidikan rakyat. Dan, karena tujuannya memberikan pengetahuan tentang agama, ia tidak memberikan pengetahuan umum. []

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *