Oleh DADANG KUSNANDAR *
USIA tua. Apa yang terbayang ketika usia semakin tua? Tubuh renta, banyak kenikmatan yang diambil pemilik tubuh, atau datangnya beragam penyakit.
Usia menandakan adanya jarak dan waktu. Jarak yang terukur juga waktu yang terukur. Semakin tua dimakan usia semakin jelas bahwa jarak dan waktu itu adalah dinamika.
Bagaimana halnya bila usia dimaksud diterakan untuk sebuah kota? Cirebon yang tua pada prinsip utamanya tidak lain merupakan pertalian utuh dan saling mengikat antara para pemangku kekuasaan dengan rakyat.
648 tahun bukan waktu sejenak. Bukan jarak dan waktu sekadar untuk makan enak, maupun duduk enak di singgasana kekuasaan. Terlebih lagi bukan semata untuk melahirkan anak tanpa jejak. 648 tahun ialah bilangan jarak dan waktu bagi keberbagaian dengan poles dan pesona penghuninya.
Tubuh yang renta lantaran sekian lama dieksploatasi hanya dengan sedikit kendali. Energi sumber daya mineral Cirebon yang terus digali tak kenal henti wajar jikalau menyebabkan banyak kenikmatan yang diambil sang pemilik tubuh. Dan wajar pula eksploatasi berlebihan itu menimbulkan penyakit.
Berbagai penyakit hinggap di tubuh kota. Rakyat Cirebon saat ini mengidap kesumat dalam bentuk sederhana: Tidak yakin pada kemampuan serta kesungguhan kerja/ kebijakan para pemangku kekuasaan.
Kesumat itu diam-diam semakin kuat menjelma. Sudut dan ruas jalan berebut ruang dengan spanduk/ baligo bergambar wajah seseorang. Pada papan iklan politik itu tertulis kalimat gagah yang menawarkan produk jual.
Cirebon yang tua dan kian terbuka memperlihatkan betapa besar keinginan rakyat untuk mampu menempatkan diri sebagai subjek pembangunan. Tidak sebatas sebagai objek pajak para ambtenar dan penarik cukai. Tidak pula hanya jadi pegulat di arena politik dan kekuasaan tanpa manfaat untuk umat.
648 tahun lalu ketika sekitar 20 perdikan di wilayah pantai Utara Jawa Barat menyatakan diri lepas dari kuasa Galuh dan Pajajaran, di bawah tangan tulus Mbah Kuwu Cakrabuana dan Sinuhun Jati Syekh Syarif Hidayatullah ~dinisbatkan bagi pertautan utuh antara rakyat/ umat dengan pemimpinnya.
Usia tua bagi suatu kota dengan demikian ialah kesungguhan para pemangku kuasa untuk teguh melaksanakan kebijakan secara bijak agar rakyat sejahtera. Kebijakan yang seluruhnya dibaktikan bagi dinamika kota sembari berpegang pada ajaran mulia.
Sejenak menengok ke belakang. Syahdan Umar bin Abdul Aziz terpilih secara aklamasi oleh tim formatur khilafah di akhir masa kekhalifahan Bani Umayyah. Ia menolak mengingat betapa berat amanah yang mesti dijalankan terutama bagi tercapainya masyarakat yang tentram damai dan sejahtera. Namun semakin kuat Umar bin Abdul Aziz menolak semakin kuat juga keputusan aklamasi tim formatur. Akhirnya beliau menerima jabatan itu sambil bercucur air mata.
Pulanglah ia ke rumah. Bercerita kepada istrinya bahwa ia telah dipilih menjadi pemimpin. Sang istri terdiam dan menyerahkan perihal itu kepada suaminya. Selain dikenal sebagai qodi (ahli hukum), Umar bin Abdul Aziz adalah sosok dermawan serta taat melaksanakan titah Tuhan.
“istriku, keluarkan semua emas dan uang yang ada di dalam lemari”, kata Umar bin Abdul Aziz.
“Untuk apa?”, tanya istrinya.
“Karena aku sekarang telah menjadi khalifah, maka semua kekayaanku adalah kekayaan rakyat yang kupimpin. Semua emas dan uang itu akan kumasukkan ke kas negara. Aku dilarang menyimpan kekayaan berlebihan sementara masih ada rakyatku yang miskin papa”.
Istri sang khalifah pun akhirnya menuruti perintah suaminya dan sama sekali tidak merasa kehilangan harta. Sebaliknya ia merasa semakin kaya dengan amal nyata. Ia pun yakin bahwa menjadi pemimpin bukan ajang dan kreasi memupuk harta pribadi dan keluarga.
Kisah inspiratif ini tidak berlebihan untuk renungan para pemangku kuasa serta calon pemangku kuasa mendatang. 648 tahun dengan demikian adalah usia tua dan terbuka bagi realisasi kesejahteraan rakyat.
Selamat ulang tahun Kota Cirebon tercinta!
*Jamaah Pengajian NU Cirebon.