21 Mei 1998, Tumbangnya sang “Macan Jawa”

– dok istimewa

Oleh: Nurdin M Noer*

INILAH gerakan mahasiswa yang seraya mengulang pada tahun 1966, ketika Angkatan 1966 melengserkan Presiden Soeharto. Gerakan itu kembali terjadi pada bulen Mei 1998 dan puncaknya terjadi pada 21 Mei 1998, Soeharto dipaksa mundur dan menyatakan berhenti sebagai Presiden ke-2 RI.

“Revolusi 21 Mei 1998”, istilah yang diambil dari sebuah buku berjudul “Pers dalam Revolusi Mei, Runtuhnya Sebuah Hegemoni” (Gramedia, Jakarta 2000). Dalam prolognya, dinyatakan setelah pembredelan 1994, rangkaian tindak represif penguasa justru semakin mengucilkan prospek kebebasan di Tanah Air. Kita mencatat, antara lain, pemecatan para jurnalis penandatangan Deklarasi Sirnagalih yang memproklamirkan berdirinya Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Agustus 1994, baik dari keanggotaan di Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) maupun dari pekerjaan mereka. Lebih dari itu, dilakukan pula serangkaian penangkapan terhadap jurnalis “bawah tanah”, Triagus Susanto Siswowihardjo, editor Kabar dari Pijar, juga Ahmad Taufik, Eko Maryadi, dan Liston Siregar, anggota AJI yang menerbitkan majalah “bawah tanah” Suara Independen.

Revolusi, begitu kata orang bijak, sesuatu yang dilakukan secara paksa, secara luas, dan sering dengan kekerasan untuk melakukan perubahan tatanan sosial atau politik oleh segmen besar dari populasi suatu negara. Revolusi adalah pilihan politik yang paling ekstrem dari kelompok yang menentang, cara ini diambil umumnya ketika upaya moderat dan hukum untuk mencapai pengakuan atau reformasi telah gagal. Bahkan ketika digerakkan oleh minoritas politik, revolusi biasanya mencerminkan iklim yang melahirkan ketidakpuasan. Baik yang terjadi secara spontan, yang langka, atau melalui perencanaan yang matang, revolusi bergantung terhadap keberhasilan mereka pada waktu yang penting, dukungan rakyat, dan inti dari sebuah organisasi pemerintah yang baru.

Masyarakat modern berutang banyak terhadap pemberontakan masa lalu terhadap pemerintah yang represif, kondisi ekonomi stagnan atau membatasi dan divisi kelas yang kaku. Tantangan mendadak untuk suatu tatanan sosial yang diberikan bisa dengan sendirinya bermanfaat dalam membangkitkan dan menguji masyarakat .

Sebuah revolusi dibedakan dengan kudeta yang merupakan peralihan kekuasaan, yang dilakukan secara tiba-tiba oleh sebuah faksi kecil atau unsur pemerintah; kudeta tidak selalu membawa perubahan dalam sistem sosial. Perbedaan juga harus dibuat antara revolusi dan pemberontakan atau pemberontakan yang berupa usaha gagal pada revolusi, ekspresi kekerasan keluhan dengan tujuan terbatas, atau hanya pada tingkat kesetiaan dalam melakukan perubahan. Revolusi, istilah lebih luas diterapkan pada setiap transformasi sejarah yang signifikan (encarta, 2003).

Andrew Jakubowicz, Guru Besar Ilmu Sosiologi University of Technology Sidney, salah seorang penulis artikel dalam buku tersebut menggambarkan Soeharto sebagai “Raja Jawa”, sehingga metafora yang digambarkan media Australia berupa “Raja Jawa” (contohnya Harimau Jawa dalam The Australian).

Nama-nama julukan ini berkaitan dengan cara menggambarkan makna dari bentuk kuno pola budaya kekuasaan (dengan begitu menggambarkn politik Indonesia sebagai sangat khas timur dan eksotis). Ide, bahwa satu orang dapat memerintah suatu negara tanpa mengenal belas kasihan selama lebih dari tiga dekade, sangat bertentangan dengan bentuk pemerintahan yang dianut Australia.

Soeharto rontok, setelah ribuan mahasiswa mengepung gedung DPR/MPR yang puncaknya terjadi pada 21 Mei 1998. Revolusi kembali terjadi di tengah kekacauan ekonomi yang melambungkan inflasi lebih dari 60 persen dan menguras devisa negara hingga tinggal tersisa sekira 23 miliar dolar saja. Rupiah anjlok hingga mencapai Rp 60 ribu per dolar. Harga-harga melambung, sementara harga diri bangsa ambruk, karena gerogotan korupsi para kroninya.

Imajinasi yang menggambarkan zaman Soeharto lebih enak dibanding masa kini merupakan sikap pragmatis masyarakat kalangan bawah, yang baru bicara soal perut. Keterbukaan informasi yang kini tersedia melimpah dan murah belum tersentuh mereka. Jadi ketika ada imajinasi seakan Soeharto berbicara,”Piyé kabaré? Ėnak Zamanku, tokh!?” Hanya untuk anak-anak dan kroninya saja. Tidak untuk kalangan pers, aktivis, mahasiswa, penyair, perempuan buruh yang mengalami siksaan fisik dan mental pada masa itu.[]

*Penulis adalah pemerhati kebudayaan lokal.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *