Tradisi Masyarakat Tionghoa yang Kian Pudar

Oleh JEREMY HUANG

WP ZHONG pendiri Fakultas Arsitektur Universitas Tarumanegara Jakarta, dan Hendra Lukito mantan dosen Arsitektur Universitas Tarumanegara tahun 2005, menceritakan kegelisahan beliau kepada saya. Saat ini menurutnya, minat anak-anak muda Tionghoa kepada tradisi budaya masyarakat Tionghoa sangat rendah.       

Menurut Hendra Lukito, pengamat Budaya Tionghoa, contoh yang simple, anak muda Tionghoa memanggil saudara dari ayah ibunya dengan om dan tante. Memanggil kakek neneknya dengan sebutan opa-oma, harusnya memanggil kakek neneknya dengan ema engkong. Sebutan dan panggilan untuk adik dan kakak yang perempuan dari pihak ibu dengan sebutan sai jie wa ie, sie ie. Sementara sebutan untuk kakak laki-laki dari pihak ibu dengan sebutan engku, tuaku, jie ku, sa ku, si ku sesuai urutan dalam keluarga ibu.

Sementara itu, sebutan famili dari pihak ayah dengan sebutan auw untuk kakak atau adik dari pihak ayah dan empek untuk kakak laki-laki, dari pihak ayah dan encek untuk sebutan adik laki-laki dari pihak ayah. Sebutan panggilan tersebut penting untuk membedakan saudara dari pihak ayah atau ibu. Supaya tidak terjadi kesalah pahaman.

Menurut Hendra Lukito, ada yang hilang juga dalam tradisi masyarakat tionghoa, yaitu sedjekui dan ciong teh (tuang teh) untuk orang tua. Biasanya acara sedjekui dan ciong teh (tuang teh) dilaksanakan pada acara tahun baru Imlek, ulang tahun orang tua dan pernikahan dan ketika seorang anak dapat promosi jabatan atau membuka usaha. Acara itu dilaksanakan untuk minta restu orang tua. Sedjekui yaitu berlutut di depan orang tua, tangan dilipat kiong hie kepada orang tua, kemudian tuang teh sambil berlutut kepada orang tua.
Menurut Hendra Lukito, selain itu, hilangnya tradisi saat ada kerabat keluarga yang meninggal, seperti mempergunakan kain blacu putih dan ikat kepala bagi pria dan rok blacu putih dengan tudung putih untuk wanita. Jaman dulu jika ada keluarga meninggal, sebelum setahun, tidak boleh datang ke pesta, tetapi sekarang baru seminggu ayah ibunya meninggal, sudah datang ke pesta nikah atau pesta ulang tahun.

BACA JUGA:  BPJS Kesehatan Tanggung Biaya Operasi Pensiunan PNS, Begini Kesaksiannya

Saat ini, menurut Hendra Lukito, yang menyedihkan juga adalah berkurangnya minat anak-anak muda tionghoa, untuk belajar bahasa Mandarin dan sedikit yang tahu hari-hari besar yang dirayakan masyarakat tionghoa. Saat ini juga hanya sedikit anak-anak muda tionghoa yang tahu asal-usul leluhurnya. Padahal, hari-hari besar yang dirayakan masyarakat tionghoa bukan hanya imlek dan cap go me.

Dalam perayaan hari besar tionghoa, ada juga perayaan ceng beng tuap 5 April, sembahyang bacangan, yaitu menghormati sastrawan Tiongkok China. Hari Tiong Chiu atau nama lainnya, hari Bulan, yang merayakan terang bulan karena musim panen.

Kemudian ada perayaan onde tiap bulan Desember, merayakan pengorbanan seorang ibu yang memberikan matanya untuk anaknya yang buta. Hendra Lukito berharap tradisi budaya tionghoa dapat dilestarikan oleh anak-anak muda tionghoa. Karena generasi muda adalah generasi penerus. []

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *