CIREBON (CT) – Pemilik lahan eks Wood Center yang diperkirkaan terkena imbas bangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) 2, di sepanjang pesisir Kecamatan Astanajapura, Mundu dan Pangenan, Kabupaten Cirebon, mengaku tidak pernah dilibatkan dalam proses apapun terkait pembangunan PLTU 2.
Mereka juga membantah, klaim dari Pemda dan PT. Cirebon Energi Prasarana (CEPR) selaku pengelola PLTU 2, yang mengatakan bahwa pembebasan lahan sudah clear atau selesai.
Dikatakan, Yusuf Karyawan (50) ahli waris pemilik tanah seluas 10 hektare, yang diklaim oleh Perhutani, di Blok Terusan, Desa Kanci, Kecamatan Astanajapura, dirinya siap jika membuktikan surat tanah kepemilikan yang sah.
Pasalnya, ia menganggap pembebasan lahan yang dilakukan oleh Perhutani pada tahun 1986 silam itu cacat hukum. Karena pembayarannya tidak diberikan kepada pemilik yang sah, yakni almarhum Tami Sumarna.
“Kalau tanah untuk PLTU 2 dianggap sudah selesai atau sudah beres semua, itu hanya klaim secara sepihak. Nyatanya kami pemilik lahan yang sah tidak pernah dilibatkan sama sekali. Dan saya siap membuktikan kalau keluarga besar Tami Sumarna adalah pemilik tanah yang sah,” tegas Yusuf, ahli waris dari almarhum Tami Sumarna kepada CT, Senin (07/03).
Hal senada dikatakan Abdulrokhmani, warga Desa Kanci Kulon, apa yang dikatakan pihak Pemda dan PT. CEPR, tentang pembebasan lahan untuk pembangunan PLTU 2 itu semua bohong. Faktanya, masyarakat yang mempunyai lahan di lokasi tersebut, tidak pernah dilibatkan dalam proses pembangunan PLTU 2, baik itu masalah Amdal dan negosiasi harga dan lain sebagainya.
“Saya tidak pernah diundang. Penentuan harga pun saya tidak tahu,” ungkap Abdulrokhmani, yang pemilik lahan puluhan hektar yang diklaim pihak Perhutani.
Sebelumnya, kelompok masyarakat penggarap menghadang rencana Pemerintah Kabupaten Cirebon, yang ingin melakukan pengukuran lahan untuk kebutuhan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) 2, Senin (07/03).
Pasalnya masyarakat penggarap menilai bupati bersikap arogan, dengan mengintervensi para kuwu empat desa, yakni Desa Kanci Kulon, Desa Kanci, Desa Waruduwur, dan Desa Astanamukti, yang memang sebagai lokasi pembangunan tersebut.
Selain itu, bupati juga memutuskan secara sepihak harga ganti rugi garapan, tanpa adanya sosialisasi terhadap penggarap, dengan menghargai Rp 5 juta per kopang (7000 meter). (Riky Sonia)