Oleh Dadang Kusnandar*
TIDAK ada seorang pun yang menolak kemajuan teknologi komunikasi. Era komunikasi dan kemudahan informasi disambut riang gembira. Setidaknya kecepatan distribusi kabar, baik tulisan maupun gambar dan video merupakan keuntungan yang diraih atas kemajuan tersebut.
Agaknya hanya pengamat pendidikan atau komisi penyiaran yang kadang jadi jerih dengan lompatan era inkom ini. Bagi kaum muslim tentu saja hal ini menggembirakan. Terutama dalam kaitannya dengan dakwah bil qalam (bil tulisan) yang dapat disampaikan melalui smartphone di genggaman tangan.
Dakwah semakin variatif. Tanya jawab masalah apa pun dapat dilakukan tanpa tatap muka. Anjuran amar makruf nahi munkar secara santai dilakukan sambil berbaring. Semoga kemajuan inkom ini menggerakkan kita untuk mampu menempatkannya dalam rangka memacu dan memicu keimanan kita (yang kadang mudah jatuh bangun).
Namun demikian lantaran asiknya bermanja-manja dengan teknologi inkom, kita kebablasan. Kita menganggap bahwa memajang status di media sosial yang menceritakan amalan saleh kita sebagai sebuah kebajikan.
Alkisah, belum sepekan saya menerima posting ini melalui aplikasi whatsapp keluarga. “Sering banget akhir-akhir ini baca status media sosial yang isinya seperti ini:
“Alhamdulillah puasa hari pertama lancar, seneng banget”
“OTW masjid, mau tarawih”
“Alhamdulillah selesai muroja’ah 1 juz”
“Semoga puasaku lancar sampai beduk maghrib nanti”
“Rasanya tenang banget setelah sujud di sepertiga malam” dan seterusnya.
Sahabat fillah, simpanlah ibadahmu, jadikan sebagai privasi, tidak perlu publikasi Orang lain tidak perlu tahu, cukuplah Allah yg tahu
Simpanlah dengan rapat ibadahmu, seperti kamu menyimpan rapat aibmu.
Tidak perlu dipublikasikan, karena itu tidak akan membuatmu mulia di mata mereka. Mengingatkan berbeda dengan memamerkan. Sia- sia saja amalanmu jika akhirnya kau publikasikan.
“Jangankan kamu menghilangkan pahala sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti perasaan si penerima, seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia, dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu ia bersih (tidak bertanah), mereka tidak menguasai sesuatu pun dari apa yang mereka usahakan” (QS Al-Baqarah : 264).
Sayang sekali kan hanya karena sebuah status amalan kita jadi hilang sia sia. Sudah cape cape beribadah, tapi tidak mendapat apa pun gara-gara riya? Duuuuhh naudzubillahi min dzalik.
Agama dan utamanya peribadatan kepada Yang Mahakuasa merupakan urusan privat. Ia ada di dalam ruang pribadi yang hanya diketahui oleh sang pelaku. Jangan dulu berharap amalan saleh yang dialogis dengan Tuhan ini akan diterima oleh Al-Khaliq. Suatu waktu da’i kondang asal Bandung, KH Miftah Faridl bercerita begini.
“Ya Allah… ternyata saya hebat. Ketika orang banyak tengah lelap tidur, hamba berwudlu lalu menghamparkan sajadah dan menghadapmu dalam tahajud sepertiga malam.” Anekdot yang saya dengar pada sebuah ceramah beliau di Mesjid Salman ITB tahun 1980-an itu sepertinya tertulis di banyak status media sosial.
Penulis status (yang memposting) mungkin saja hendak mengajak teman-temannya untuk melakukan amalan shalihan tiba-tiba terjatuh menjadi pamer alias riya atau ingin memperoleh pujian orang lain. Reaksi pembaca status itu pun beragam. Tidak terkecuali ada pula yang mengolok-olok. Akan tetapi paling banyak adalah saling bersahutan dan mengomentari posting ibadah.
Dengan kata lain mengajak bukan memamerkan dan ibadah privat tidak untuk dipublikasikan. Betapa sayang apabila amalan shalihan yang telah kita lakukan akhirnya sirna tidak mendapat ridlo Allah swt, karena sudah memperoleh pujian dari sesama mahluk/ manusia. Wallahu ‘alam bishshawab@ []
*Penulis adalah Jamaah Pengajian Kang Tejo.