Citrust.id – Perwakilan pekerja PT Yihong Novatex Indonesia, Suryana, meluruskan informasi yang beredar luas di media sosial mengenai aksi unjuk rasa yang disebut-sebut menuntut penutupan perusahaan.
Ia menegaskan, informasi tersebut tidak benar dan menyesatkan publik.
Menurut Suryana, video aksi dengan spanduk bertuliskan “Tutup PT Yihong” yang kembali beredar adalah dokumentasi lama dari tahun 2022.
Saat itu, warga Desa Kanci melakukan demonstrasi karena proses rekrutmen tenaga kerja dinilai tidak memprioritaskan warga lokal.
Suryana menyatakan, aksi unjuk rasa yang kini berlangsung selama empat hari bukan bertujuan untuk menutup perusahaan, melainkan untuk memperjuangkan status kerja 617 buruh.
Mereka hingga kini masih bekerja berdasarkan perjanjian lisan. Para pekerja menuntut agar status mereka diubah menjadi karyawan tetap atau PKWTT.
Suryana juga mengungkap, setelah nota pemeriksaan dari Dinas Tenaga Kerja (Wasnaker) keluar, perusahaan justru melakukan Pemutusan hlHubungan Kerja (PHK) secara bertahap.
PHK dilakukan terhadap 20 orang pada tahap pertama, lalu 60 orang, dan tiga orang pada tahap terakhir. Namun, yang viral di masyarakat hanya PHK terhadap tiga orang, seolah-olah itulah pemicu aksi.
Salah satu dari tiga pekerja yang terkena PHK adalah Dirman, yang dikenal sebagai pekerja senior sejak awal perusahaan berdiri. Dirman bahkan turut serta saat PT Yihong menerima pesanan pertama sebanyak 500 potong produk.
Kinerjanya dinilai baik, kehadiran stabil, dan penilaian mandor juga positif, tetapi perusahaan tidak memberikan penjelasan rinci terkait alasan pemutusan kerja tersebut.
“Aksi mogok kerja ini bukan inisiatif dari serikat buruh, melainkan muncul atas dorongan dari pengawas ketenagakerjaan. Pengawas merasa tidak diberikan ruang oleh manajemen untuk memperjuangkan hak pekerja,” ucapnya.
Laporan resmi atas persoalan itu telah diajukan ke Pengawas Ketenagakerjaan Kabupaten Cirebon pada 30 Januari 2025. Pemeriksaan yang dilakukan pada 10 Februari 2025 menemukan empat pelanggaran di internal PT Yihong.
Pelaggaran itu, yakni keterlambatan pembayaran kompensasi selama tiga tahun, adanya ‘hutang jam’ saat bahan baku kosong, tetapi tetap dibebankan ke pekerja.
Selain itu, status kerja tidak jelas bagi 617 buruh, serta peraturan perusahaan yang tidak pernah disosialisasikan selama tiga tahun beroperasi.
Para pekerja mendesak perusahaan agar menghapus sistem utang jam, membayar kompensasi yang tertunda, mengangkat seluruh pekerja menjadi karyawan tetap, dan menyampaikan peraturan perusahaan secara resmi kepada seluruh karyawan.
“Aksi kami murni memperjuangkan hak, bukan untuk menutup perusahaan seperti yang ramai dibicarakan di media sosial,” tandas Suryana. (Haris)