Menggugat Nalar Teaterawan Cirebon

Oleh UYUNG NUHA*

DIALOG Emak, Abu, dan Majikan dalam penggalan lakon Kapai-Kapai karya Arifin C. Noer yang dibacakan oleh Marwah Tiffani Syahri, Edeng Syamsul Ma’arif, dan Ojol Imam Sanusy tiba-tiba menggelegar di ruangan Mubtada Coffee Enthusiast, Sabtu (24/03). Sontak, pengunjung yang asik menikmati secangkir kopi mengalihkan pandangan ke sumber suara. Pemandangan tak biasa itu menjadi pembuka diskusi Lingkar Jenar Ngopi Sabtu Malam #4 bertajuk Arifin C. Noer dan Karut-Marut Teater Cirebon Hari Ini.

Buku Teater Tanpa Masa Silam karya Arifin C. Noer menjadi sandaran Ojol sebagai pemantik perbincangan untuk melihat situasi teater Cirebon saat ini. Ia merasa gelisah membaca situasi aktivis teater di Cirebon yang anti nalar dan dialektika. Menolak apa pun yang berkaitan dengan intelektualitas. Sementara di kota lain justru menjadi rujukan dasar. Edeng menambahkan, hal itu berbanding terbalik dengan pria kelahiran Cirebon—tokoh teater sekaliber Arifin yang mengedepankan kerja-kerja kreatif sekaligus intelektual. Sosok yang dijadikan panutan dalam percaturan dunia teater Indonesia itu senantiasa menuliskan gagasannya sehingga karya-karyanya menjadi cacatan penting bagi kehidupan teater nasional. Arifin adalah kreator sekaligus pemikir yang baik.

Tetapi, Arifin tidak memiliki semacam jejak atau riwayat berkesenian panjang di kota kelahirannya. Ia menempuh proses di kota lain yakni Solo, Yogyakarta, dan Jakarta. Hal itu yang menyebabkan Arifin dianggap tidak memiliki kontribusi secara langsung terhadap pertumbuhan kelompok-kelompok teater di Cirebon. Ibarat kaki Arifin yang tidak pernah menyentuh tanah karena ia mengenakan sepatu. Ada sekat di sana. Arifin juga mendirikan dan mengelola kelompok Teater Kecil di Jakarta, yang dianggap sebagai bentuk ‘dosa’ di masa lalu hingga akhir hayatnya dan Cirebon tetap tampak sebagai kota yang asing. Arifin,  lagi-lagi, hanya dikenal sebagai nama yang pernah lahir tanpa mencatatkan sejarahnya. Meski begitu, karya-karya Arifin selalu mengangkat tema yang berkaitan dengan spirit masyarakat pinggiran misalnya, berbau lokalitas, tradisi di tengah modernitas, membela kaum tertindas, ciri lain dari pementasannya yaitu teater arena sehingga penonton dan pemain tidak berjarak.

Terlepas dari itu, Arifin memang layak mendapat predikat sutradara dan seniman besar. Kiprahnya betul-betul didedikasikan untuk kesenian. Dalam kesempatan tersebut, Dedi Kampleng, aktor sekaligus sutradara teater mengatakan, kondisi teater Cirebon hanya karut tidak sampai marut. Penyebabnya karena krisis pengetahuan pelaku teaternya yang memprihatinkan. Tidak mau belajar dari orang-orang hebat yang berkecimpung di dalamnya. “Arifin paham politik, ekonomi, sosial, agama, sehingga karya-karyanya bagus. Nah, generasi sekarang justru kering, kenapa? Karena orang-orangnya malas. Ketika saya tanyai anak-anak muda yang katanya aktivis teater itu, mereka gak tahu siapa Din Don, Boedi S. Otong, Radhar Panca Dahana. Kalau berteater mengharapkan popularitas, mengeruk keuntungan, mending gak usah masuk teater,” ujar pria rambut gondrong itu.

“Seniman besar seperti W.S. Rendra dengan Bengkel Teaternya, Putu Wijaya dengan Teater Mandirinya, saat ini keadaanya seperti apa? Sedih kalau mau diceritakan. Bagaimana Ken Zuraida (istri Rendra) harus menghidupi Bengkel Teater, hanya Nano Riantiarno yang belum merasakan beratnya. Cirebon sebenarnya banyak aktor, tetapi karena teater tidak bisa menjamin kehidupan mereka banyak yang beralih profesi menjadi tukang becak dan penjual mie rebus,” lanjut Kampleng.

Pembicaraan terus mengalir hingga menyibak masa lalu perjalanan kelompok-kelompok teater Cirebon dari kurun waktu 60-an hingga 90-an. Tersebutlah beberapa kelompok seni dan teater di masa lampau yang kini hanya tinggal nama seperti Teater Stepa, Tanah Air (TTA), Teater Cob-cob Grage, Teater PR Edisi Cirebon, Teater Cilik An-Nur, Teater Alif, hingga ke teater-teater kampus seperti Awal IAIN Syekh Nurjati Cirebon, Dugal Universitas Swadaya Gunung Jati Cirebon, Parlemen Universitas 17 Agustus Cirebon, Roempoet Universitas Muhammadiyah Cirebon. Kemudian semakin jauh menyoal kondisi Gedung Kesenian Nyi Mas Rara Santang yang penuh kontroversi karena sejak awal berdirinya tidak layak menjadi gedung pertunjukan hingga situasi parah berikutnya mulai bermunculan kelompok-kelompok teater di Cirebon yang terkesan mengeksploitasi dan memaksa pelajar sebagai penonton.

“Apakah tidak bisa ketika hendak pentas memasang baliho sampai ke desa-desa dan hanya satu-satunya di depan gedung kesenian, itu pun menggunakan bambu dan posisinya miring. Ini justru kebalikannya, lebih memilih para pelajar untuk menonton dengan ancaman tidak akan mendapat nilai baik dalam pelajaran Seni Budaya dan Keterampilan. Ini benar-benar cara-cara yang kotor. Pelaku seni sikapnya jauh lebih politis dibanding politisi! Ajak itu pejabat-pejabat, kuwu, pengurus RW, PNS untuk nonton, kalau tidak mau nonton, pecat! Jangan mengancam anak-anak. Wajar jika sekarang anak-anak tidak ada yang menyukai teater, tidak ada yang tahu apa itu teater, karena pelaku teaternya sendiri yang menghancurkannya. Persoalan tata lampu saja mereka belum selesai belajarnya kok,” tegas Kampleng.

Ucapan Kampleng seolah mengamini Nano Riantiarno dalam pengantar buku Kitab Teater, jika teater kehilangan daya tarik dan ditinggalkan penonton maka yang patut disalahkan adalah orang teater. Bukan para penonton, juga bukan masyarakat kesenian atau pun masyarakat umum. Mengapa? Karena daya tarik teater datang dari orang teater, dicipta oleh orang teater. Penonton hanya menonton, menikmati lalu menyerap—dengan mata, rasa, dan hati—kemudian mencaci-maki atau memuji, atau menghargai dan berbagi.

 Manajemen Teater

Teater Koma dikenal dengan manajemen produksinya yang baik. Orang-orang di dalamnya tahu betul bagaimana mengurus dan memelihara penonton selain menyuguhkan pentas yang bagus. Setiap pertunjukan yang diselenggarakan satu bulan penuh di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta itu selalu mendatangkan penonton setia dari berbagai daerah di Indonesia. Koma, jelas tidak alergi dengan konsep manajemen pasar karena mereka yang menciptakan. Tak ayal, cara-cara yang dilakukannya menjadi contoh kelompok-kelompok teater yang lain. Nano mengatakan (hlm. 229), sejak dirinya bekerja di teater, sudah mempercayai manajemen itu penting, meski bukan yang paling penting. Walaupun, dirinya mengaku sering mendapati seniman yang anti dengan kata pemasaran, marketing.

Sejak Koma didirikan pada 1 Maret 1977, Nano sudah berusaha untuk memperhitungkan ‘manajemen’ walaupun dirinya bukan pakar di bidang itu. Ia meyakini satu konsep manajemen yakni ‘manajemen terap-guna’ atau ‘manajemen hati nurani’. Ia menyerap pemahaman sederhana bahwa manajemen teater adalah perencanaan sebuah kegiatan produksi teater hingga hasil akhirnya kena di hati konsumen (penonton). Menurutnya, kelompok teater mana pun harus punya manajemen. Sebab, karya pentas yang akan dipergelarkan pastilah membutuhkan koordinasi dan keteraturan atau kepastian, sehingga masyarakat luas bisa mengetahui, menyerap, menikmati, lalu mengapresiasi, menghargai (hlm. 229-230).

Manajemen, kata Nano, bukan sesuatu yang melulu market (product) oriented, melainkan lebih berorientasi kepada proses keseniannya. Proses kreatif (konsep artistik-estetik-etik dan perwujudannya) adalah sumber sekaligus muaranya. Berteater adalah kegiatan yang menyenangkan, sekaligus menjadi ajang pelatihan diri dan pengasahan dalam memaknai perilaku atau tindakan disiplin, bertanggung jawab,  jujur, kemampuan bekerjasama, rasa percaya diri, dan pembentukan kepribadian tanpa pemaksaan. Tujuan berteater antara lain, salah satu pencarian kebahagiaan lewat cermin jujur yang berdasar kepada akal sehat, daya budi, dan hati nurani (hlm. 8-9).

Lantas, bagaimana jika tujuan berteater hanya untuk mengejar eksistensi, keuntungan, dan menjual tiket pertunjukan dengan cara memaksa pelajar (di Cirebon) melalui ancaman nilai pelajaran buruk bagi yang tidak menonton? Di mana letak kebaikannya?***

*) Penulis adalah pegiat sastra Lingkar Jenar

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *