Oleh Sutejo Ibnu Pakar*
SELAIN Wali Songo ternyata masih banyak tokoh sufi di tanah Jawa yang tidak kalah penting. Ulama-ulama itu merupakan generasi pelanjut perjuangan para wali. Salah satunya di Jawa Barat tercatat nama Syekh Hãji Abdul Muhyi Pamijahan (Tasikmalaya), seorang ulama penyebar Islam di kawasan selatan Jawa Barat, yang lebih dikenal umum sebagai seorang wali.
Dia adalah murid dari Syekh Abdurrauf Sinkli (sufi Aceh). Syekh Ahmad Hasbullah bin Muhammad (Madura), Syekh Tholhah (Kalisapu Cirebon), dan Syekh Abdul Karim (Banten) adalah para tokoh yang paling berjasa dalam penyebaran Tarîqat Qãdirîyah wan Naqsyabandîyah di Indonesia, terutama di Pulau Jawa dan Madura. Ketiganya adalah khalifah Syekh Khathîb Sambas (w.1875 M.).
Syekh Tholhah adalah guru utama Tarîqat Qãdirîyah wan Naqsyabandîyah di wilayah Cirebon dan Priangan Timur. Salah satu muridnya yang terkenal dan diangkatnya sebagai khalifah untuk wilayah Jawa Barat bagian tengah dan timur adalah Syekh Abdullah Mubarok bin Nur Muhammad (Abah Sepuh, w. 1956 M.), ayah dari Syekh Shãhib al-Wafã Tãjul Arifin (Abah Anom), pemimpin Pesantren Suralaya Tasikmalaya. Syekh dikenali sebagai putra dari Desa Kalisapu, salah satu daerah di wilayah pantai utara Cierbon.
Tokoh ini dikenal sangat adaptable dan emphaty. Namanya sangat akrab di hati masyarakat pantai pesisir utara Kabupaten Cirebon dan sangat dihormati oleh masyarakat muslim Pasundan. Di hati komunitas pesantren di wilayah III khususnya, nama Syekh terkait dengan tokoh wali kenamaan, Syekh Syarif Hidayatullah. Dia tercatat sebagai salah seorang sesepuh masyarakat Cirebon yang mewariskan generasi yang sekarang memangku bebeberapa pondok pesantren di bagian utara dan barat Kabupaten Cirebon.
Komunitas tertentu memandang Syekh Tholhah dari sudut mereka. Dia dikenali sebagai salah seorang kyai yang sakti mandra guna. Syekh Tholhah pada suatu pagi hari diundang oleh salah seorang tetangganya untuk menghadiri upacara tahlilan. Tetangga yang lainnya merasa “harus” mendapatkan penghormatan dari sang syaykh. Dia mengundang syaykh bijak itu untuk menghadiri upacara khitanan yang menyuguhkan tontonan wayang kulit (wayang purwa, istilah Cirebon waktu itu).
Upacara tahlilan dan pagelaran wayang kulit, pada zamannya, merupakan cerminan dua kutub yang berbeda (pahala dan dosa, atau ibadah dan maksiat) dari sudut pandang keagamaan masyarakat awam dan “santri” Cirebon. Tetapi Ki Tholhah (panggilan akrab masyarakat Cirebon) tidak pernah memandang dua kutub itu dari sudut pandang keagamaan ulama kebanyakan pada waktu itu yang pada umumnya diskriminatif. Dia menghadiri kedua undangan tetangganya itu dan sekali-kali tidak mendasarkan tindakan keberagamannya kepada aspek legal-formal (hukum fiqh). Dia justru berhasil menyatakan pendirian kesufiannya sebagai ajaran agama (Islam) yang mampu memberikan ketentraman tidak saja bagi pribadi pengalamannya. []
*Dosen IAIN Syekh Nurjati Cirebon.