Kekuatan Dzikrullah

Ilustrasi

Oleh Suteja Ibnu Pakar

DZIKR yang mengulang-ulang menyebut asma Allah secara langsung melahirkan kekuatan ilahiah yang sangat kuat pada diri seseorang. Akibatnya, pada tahapan istighrâq (fanâ` dan baqâ`) rûh robbânî seseorang akan naik ke atas menemui al-Khâliq di ‘alam al-amr, alam yang tidak memiliki ruang dan waktu. 

Istighrâq adalah salah satu keistimewaan seorang hamba yang telah mencapai derajat wali Allah seperti yang dimiliki oleh Muhammad Baha` al-Din al-Naqsyabandi. Maqâm istigrâq (fanâ` dan baqâ`) merupakan tingkatan tertinggi bagi hamba yang menuju jalan Allah. Maqâm ini dicapai setelah seorang hamba melampaui tiga tahapan sebelumnya yaitu, tawbah nasuhâ, istiqâmah, serta mujâhadah dan riyâdhah dengan cara melanggengkan diam, melanggengkan puasa, melanggengkan melek (tidak tidur) dan ‘uzlah.

‘Uzlah, akan mendatangkan setidaknya empat karunia Allah, yaitu terbukanya tabir gaib yang menghalangi mata hati dari wajah Allah, turunnya rahmat Allah, semakin kuatnya cinta kepada Allah, dan ucapan yang selalu benar.

Abu Yazid al-Busthami (w. 261 H./874 M.) menegaskan bahwa wali yang sempurna ialah orang yang telah mencapai ma’rifah yang sempurna tentang Allah, ia telah terbakar oleh api Tuhannya. Ma’rifah yang sempurna akan membuat wali sirna ke dalam sifat-sifat ketuhanan. Wali yang sempurna akan melihat keajaiban qudrat Allah, akan dapat menyaksikan rahasia-rahasia alam, dapat menyaksikan sesuatu yang terjadi pada masa lalu, dan juga masa depan.

Kasyf atau inkisyâf merupakan maqâm seorang wali yang sudah ma’rifat Allâh dengan mata hatinya. Maqâm kasyf ini diberikan oleh Allah kepada hamba-Nya yang telah memiliki cinta (mahabbat Allâh) yang tulus dan bersih dari pengaruh hawa nafsu. Adapun cirinya adalah menjalankan syariat dengan baik, hatinya terbebas dari kehidupan duniaiwi, akhlaknya baik dan terpuji, secara lahir dan batin mampu menjauhkan diri dari kehidupan duniawi, tidak mengharapkan apapun dalam beribadah kecuali ridha-Nya, serta melanggengkan mujâhadah dan riyâdhah.

Kasyf, bagi al-Ghazali, adalah metode yang tertinggi yang dikaruniakan Allah kepada orang ‘ârif, sufi dengan cara penyaksian dengan cahaya yakin. Pengetahuan orang ‘ârif berada di atas pengetahuan ahli kalam dan pengetahuan ahli kalam berada satu tingkat di atas pengetahuan orang awam.

Seseorang yang berhasil mencapai kasyf telah terjun dalam gelombang berbagai hakikat realitas, mengarungi pantai keutamaan dan amal ibadah, bersatu dengan kesucian tauhid, serta mewujudkan keikhlasan yang benar-benar tulus. Tidak ada lagi yang tersisa dalam dirinya. Bahkan kemanusiaannya pun telah menjadi padam. Kecenderungannya pada tabiat-tabiat kemanusiaan pun telah sirna.[]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *