Jumenengan Sultan Sepuh XV Harus Libatkan Ulama

Citrust.id – Wafatnya Sultan Sepuh XIV Pangeran Raja Adipati Arief Natadiningrat SE membuat tahta selanjutnya akan dijabat oleh putra mahkotanya, dalam hal ini adalah Pangeran Raja Luqman Zulkaedin.

Meski demikian, sejumlah kalangan pesantren di Cirebon menilai, seharusnya sebelum penobatan putra mahkota sebagai Sultan Sepuh XV Keraton Kasepuhan Cirebon melibatkan kalangan ulama untuk melakukan musyawarah.

Tokoh ulama Bendakerep, KH Muhtadi Mubarok Soleh mengatakan, penobatan putra mahkota tersebut seharusnya diawali dengan musyawarah yang melibatkan juga para ulama yang ada di Cirebon.

“Masyarakat Cirebon dulu dipimpin Sunan Gunung Jati yang juga seorang ulama. Sehingga dalam hal penobatan pun seharusnya melibatkan para ulama kalangan pesantren,” katanya saat dikonfirmasi, Senin (27/7) sore, di wilayah Kecamatan Harjamukti Kota Cirebon.

Sejak dulu, kata Muhtadi, keraton punya tugas melakukan syiar Islam dan melibatkan kalangan pesantren. “Siapapun sultan selanjutnya, harus bisa mengemban amanah syiar Islam dan bekerjasama dengan pesantren yang dulu menjadi penopang Keraton Kasepuhan,” tegasnya.

Ia juga menjelaskan, sejarah pesantren dulunya disebut sebagai peguron, yakni pada masa Sunan Gunung Jati. “Peguron itu dulunya petugas kerajaan yang diberikan tugas keagamaan. Alasan itulah yang dimaksudkan keraton dan pesantren bersenyawa,” tuturnya.

Sementara itu, Ketua Badan Pengelola Keraton Kasepuhan, Ratu Raja Alexandra Wuryaningrat mengatakan, tradisi yang sudah menjadi pakem bahwa putra mahkota akan meneruskan tugas menjadi sultan.

“Yang meneruskan tahta adalah turunan garis anak laki-laki yang telah ditunjuk oleh sultan sebelumnya,” katanya.

Dalam tahapan menjadi sultan sepuh, kata Alexandra, tidak ada pembekalan dari pihak luar, melainkan sultan langsung sebelum wafat. Setelah putra mahkota menjadi pangeran raja, mulai diberi pemahaman tentang tugas seorang sultan.

BACA JUGA:  Polres Majalengka Gelar Salat Gaib atas Wafatnya KH Maimoen Zubair

“Tidak ada dipondokin (pesantren, red) dulu. Lebih ke sultan langsung pada saat masih hidup. Diberikan wejangan, diberitahu adat, tradisi dan lainnya,” kata dia.

Ia juga menjelaskan, bahwa penobatan atau jumenengan biasanya dilakukan setelah 40 hari sultan wafat. Tidak ada tradisi lain sebelumnya. Penobatan akan disaksikan warga, abdi dalem, pemerintah, kerabat, keluarga dan termasuk ulama dari pesantren,” katanya. (Aming)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *