“Jawa Barat” atau “Jawa Kulwan”

-dok net

Oleh: Nurdin M Noer

NAMA Jawa Barat, bukanlah nama yang asing sejak masa Kerajaan Tarumanagara. Kalangan penduduk di Swarnabhumi, Borneo dan Celebes menyebut kerajaan-kerajaan yang ada di Jawadwipa (Pulau Jawa) sebagai ”Jawa Kulwan” yang artinya Jawa Barat.

Mereka yang menetap di Jawa Barat sebelah barat berasal dari Wangsa Warman. Salah seorang di antara pemimpin mereka mendirikan sebuah kerajaan pesisir, ia menyebut dirinya Dewawarman. Ia menguasai gerbang lalu lintas pelayaran di Selat Sunda. Semua perahu yang lewat, diwajibkan membayar upeti (wineh matura-tura) kepada raja. Ia berkuasa di pesisir Jawa Kulwan atau apuy-nusa mwang pesisir swarnabhumi kidul” (pantai Jawa Barat, pulau api dan pantai Selatan Sumatera) (NKB. I.1 :29,1-4).

Kerajaan yang dikuasai Dewawarman bernama Salakanegara dengan ibukotanya bernama Rajatapura (kota perak). Kerajaan itu hidup dalam waktu yang sangat lama, diperintah oleh 8 orang raja, yang merupakan keturunan langsung dari pendahulunya atau karena perkawinan. (Wangsakerta, Negarakretabhumi, 1670, terjemahan Manasa).

Susuhunan jati pinaka raja panditāgung//hanéng nagara puser bhūmi//i bhūmi jawa kulwan yatiku carbon nāgari /māpan sinebut puser bumi / hétunya pusering agaméslam athawa puser ing widyagaméslam ring samangkana // mwang sakéng salwir ing mandala /praja / désa / nusa-nusa i bumi nusāntara akwéh jugékang maguru ring carbon

Susuhunan Jati menjadi raja pandita yang besar//ada di Negara Pusĕr Bumi di bumi Jawa Barat yaitu Negeri Carbon. Sebabnya disebut Puser Bumi, sebabnya pusat dari agama Islam atau
pusatnya pengetahuan agama Islam. Demikianlah, dari berbagai wilayah, kerajaan, desa, pulau-pulau di Bumi Nusantara banyak juga yang berguru ke Carbon.

Di Pulau Jawa ada tiga buah Puser Bumi yaitu, Jawa Barat ialah Carbon, Jawa Tengah ialah Demak, Jawa Timur, yaitu Ampel Denta lalu Giri.

Pada permulaan tahun saka terjadi pula gelombang-gelombang pendatang baru dari Sinhanagasari, Salihwahana nagari bumi Bharatawarsa (India Selatan). Dengan menumpang berbagai jenis perahu, mereka tiba di Jawa Barat dan Jawa Timur. Mereka datang ke situ untuk berniaga. Di antara mereka banyak yang kawin dengan anggota masyarakat pendatang yang telah tiba terlebih dahulu. Mereka beranak, bercucu. Mereka beranggapan bahwa Pulau Jawa adalah Suwarga Loka di muka bumi. Para pendatang dengan tujuan berniaga banyak yang berasal dari Langkasuka, Saimwang, dan Hujung Mendinidan tiba di Jawa Barat serta Swarnabumi (Sumatera) (NKB. I.1 :20)

Di antara para pendatang yang berasal dari Negara Bharata banyak juga para penyebar agama, yang melakukan pemujaan terhadap Sanghyang khususnya kepada Dewa Brahma, Wisnu, dan Siwa yang disebut Trimurtiswara. (NKB. I.1 :22,3).

Yang menyebarkan agama baru tidaklah menemui kesulitan. Karena sejak semula para anggota masyarakat di Nusantara senantiasa memuja arwah nenek moyang (pitrepuja), di samping memuja api, matahari, bulan dan sebagainya. Kebiasaan lama yang demikian tidaklah dilarang oleh para penyebar agama baru. Dikatakan ”kewala ngaran pamujaniraneher inowahi / hetunya pamuja yata agnupuja / sangkeng ika samapuja lawan agni dewapuja / athawa sanghyang maneh // suryapuja samapuja lawan surya dewapuja//.

Sedangkan mahapitrepuja disamakan dengan pemujaan terhadap Hyang Wisnu, Brahma, dan Siwa. Itulah sebabnya banyak penduduk yang menjadi pemeluk agama baru (NKB. I.1 :23,7)

Sementara itu, makin bertambah banyak golongan pendatang bermukim dan beristrikan puteri para penghulu masyarakat desa. Kemudian anak mereka menggantikan kedudukan ayahnya. Mereka menjadi ahli waris kakeknya sebagai penghulu di desanya.

*Penulis adalah pemerhati kebudayaan lokal.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *