Oleh Dadang Kusnandar
CUKUP lama tidak menyaksikan pentas kesenian di Cirebon, akhirnya terpuaskan juga. Keraton Kanoman terang benderang bertabur lampu ribuan watt. Alun-alun keraton sontak berubah drastis menjadi tumpuan masyarakat kesenian untuk menyaksikan kilau cahaya warna warni, gerak tari, dentum musik, tetabuhan gamelan, lagu, petuah, kisah/ sejarah, dan properti pendukung pentas kesenian kolosal.
Untuk kali kedua, Yayasan Cahya Widi yang diketuai oleh Pangeran Patih Raja Mochamnad Qodiran menampilkan dramatari musikal bertajuk Cahya Sumirat 2 Dukuh Caruban. Pentas kolosal yang melibatkan ratusan seniman berbagai spesifikasi ini merupakan lanjutan pentas tahun 2016 lalu.
Tentu saja ada modifikasi serta fokus interes yang berbeda dibanding pentas tahun lalu. Dua hal itu cukup dijelaskan pada booklet acara.
Menggarap sepenggal kisah/ sejarah Cirebon dalam bentuk drama tari musikal sudah pasti bukan hal yang mudah dilakukan. Proses latihan yang cukup panjang, yakni tiga kali sepekan selama dua bulan, menandakan kesungguhan seluruh awak kesenian dan tim kreatif yang terlibat.
Dengan kata lain jika tidak dibarengi kekuatan semangat mengusung penguatan kesenian tradisi Cirebon maka menggabungkan drama-tari-musik pada sebuah pertunjukkan ~hasilnya mungkin hanya sebatas niat.
Sulitnya membarengkan puluhan grup sanggar kesenian Cirebon untuk satu pertunjukkan bukan rahasia umum lagi. Dapat dipastikan betapa terkurasnya energi sutradara, koreografer, nara sumber/ penulis skenario, komposer musik berikut asisten, penata panggung, penata lampu, dan editor teks.
Namun energi luar biasa awak kesenian Cirebon pada lakon Cahya Sumirat 2 layak diacungi jempol. Suksesnya pentas kolosal itu menandakan bahwa komunitas kesenian Cirebon terbukti masih guyub dan bertolakpikir pada satu hal: eksistensi seni tradisi.
Justru tidak elok dan apologia semata apabila seni tradisi di banyak lokus kesenian pudar karena desakan perubahan jaman serta kemajuan teknologi. Jangan salahkan jaman karena tiap jaman memiliki fenomena tersendiri. Fenomena jaman itulah yang mesti menyemangati pertumbuhkembangan seni tradisi.
Artinya ketika sepenggal kisah sejarah diadaptasi ke dalam drama tari musikal, ketika itu teknologi dibutuhkan. Dan ketika itu pula kuasa jaman (atas segala hal) berubah menjadi semacam hukum alam/ sunatullah. Di sinilah perlunya moral force dan perilaku budaya.
Aku dalam Budaya, meminjam Tuti Herati Diah bermula dari integrasi terpadu antara pelaku budaya terhadap kebudayaannya.
Mau tidak mau, suka tidak suka, jaman mempersilakan pelaku budaya menentukan sikap budayanya. Bila hendak berlaku secara patut terhadap budaya harus terlebih dahulu memperlakukan budaya tanpa prasangka buruk kepada jaman.
Sekilas Kisah
Cahya Sumirat 2 mengisahkan penghentian pemberian upeti dan pajak Kerajaan Cirebon kepada Kerajaan Pajajaran. Berhentinya pajak dan upeti suatu imperium tentu saja sangat mengganggu stabilitas sosial, politik serta ekonomi kaum imperialis.
Berhenti bukan semata berkurang melainkan berakhir. Pemutusan setoran Kerajaan Cirebon kepada Kerajaan Pajajaran pun diikuti oleh Kuningan yang dibarengi dalih bergabung kepada Cirebon yang telah bebas dari kuasa Pajajaran.
Tak pelak terjadi perang tanding antara Pangeran Kuningan dengan Adipati Arya Kiban, utusan Prabu Cakraningat dari Kerajaan Galuh-Pajajaran.
Babak sejarah Cirebon menuliskan, pada saat sama datanglah rombongan dari Cina dan Arab ke Cirebon. Tokoh yang mengemuka pada kedua rombongan itu ialah Syekh Bentong, Adipati Keling dan Adipati Cirebon.
Berikutnya saya teringat kisah perang Gunung Gundul sebagaimana pernah dipaparkan budayawan Kartani (alm).
Kemenangan Cirebon atas Galuh-Pajajaran pada perang di Gunung Gundul itu jadi penanda sekaligus legitimasi formal dan faktual berdirinya Kerajaan Cirebon secara otonom. Tidak ada lagi kewajiban membayar dalam bentuk apa pun kepada negeri/ kerajaan mana pun.
Yang ada ialah membangun negeri/ kerajaan sendiri dengan kekuatan sumber daya yang dimiliki. Di samping tentunya melakukan olah kreasi budaya dengan kerajaan lain. Posisi antarkerajaan jadi setara.
Tak urung pentas drama tari musikal Sumirat 2 pun menyertakan aksi kesenian Barongsai pada sebuah skuelnya.
Sejatinya pentas seni tradisi berbasis sejarah dimaknai sebagai dialog antarjaman. Berangkat dari situ akan didapat kesejatian memaknai cahaya, menempatkan diri di dalam budaya.
Bersamaan dengannya seni tradisi akan tetap hidup pada jaman apa pun, tidak menyalahkan jaman lantaran telah menempatkan fenomena jaman sebagai satuan utuh guna membentuk kreasi baru yang tiada putus.
Terima kasih kepada Iday MS yang telah memberi booklet acara secara cuma-cuma kepada saya. Semoga saya tidak gagal paham atas pertunjukkan Sumirat 2. Juga saya bangga kepada Mul Bulu yang tetap asik dengan “senjata saktinya”, suling bambu.
Pun untuk abah Dino Syahrudin yang tak pernah putus mengabarkan pentas kesenian melalui layanan pesan pendek (sms). Ternasuk kepada Ipon Bae, yang kini tengah menekuni seni kriya, atas ajakan Jum’at malam 24 Maret 2017 menyaksikan latihan terakhir/ general repetisi di alun-alun Kasultanan Kanoman. *
Salam Budaya!@ Penikmat Kesenian, Tinggal di Cirebon
Komentar