Berpolitik dalam Bingkai Tasawuf

  • Bagikan

Oleh SUTEJO IBNU PAKAR

KONFLIK menajam dalam pertarungan politik setiap pergantian pimpinan partai dan pemilihan kepala daerah yang mulai berlangsung di seluruh kawasan Tanah Air, membuat kemiskinan dan penderitaan rakyat semakin mengenaskan.

Fakir-miskin dan korban bencana alam makin tak terurus saat elite partai dan bahkan tokoh-tokoh   agama terperangkap perebutan kekuasaan materiil. Doktrin sufi mengajarkan bagaimana cara pembebasan manusia dari perangkap  hasrat kuasa dan kaya yang mejadikan pelaku ekonomi, politik dan tokoh agama  kehilangan rasa kemanusiaannya.

Ajaran sufi bisa menjadi basis etik dinamika kehidupan sosial, ekonomi dan politik kebangsaan yang humanis dan berkeadilan dalam dunia global, jika dimaknai sebagai praksis kemanusiaan. Akar etik sufi ialah kesediaan manusia menempatkan dinamika kebendaan dan duniawi (sosial, ekonomi, politik) sebagai wahana pencapaian tahapan kehidupan (maqam) lebih tinggi dan bermutu. Bagi kaum sufi, kehidupan sosial, ekonomi dan politik bukanlah tujuan final, tapi tangga bagi kehidupan lebih luhur. Inilah maksud ajaran suluk sebagai jalan mencapai ma’rifat;  Ma’rifat  adalah karunia tertinggi tentang hakikat kehidupan dinamis.
Karunia ma’rifat yang futuristik itu menciptakan manusia-manusia yang piawai melihat hukum kausal sejarah dan berbagai kemungkinan kejadian di masa depan.

Realisasi doktrin sufistik bukanlah dengan menjauhi, menolak dan menghindari pergulatan bendawi, melainkan melampaui dan menerobos batas-batas dinamika bendawi yang materialistik. Perilaku dan pola hidup sufistik  merupakan teknik pembebasan manusia dari perangkap materiil ketika melakukan tindakan sosial, ekonomi dan politik, juga dalam kegiatan ritual keagamaan. Itulah basis etik setiap laku sufi yang seharusnya meresap kedalam setiap tindakan manusia di dalam kehidupan sosial, ekonomi dan politik serta berbagai kegiatan ilmiah. Inti ajaran sufi demikian itu mudah kita kenali di semua ajaran agama-agama samawi.

BACA JUGA:  Ini Komentar MUI Soal Adanya Jaringan Islam Radikal di Indramayu

Berbasis etika sufistik seseorang bersedia membantu meringankan penderitaan orang lain, walaupun diri sendiri menghadapi kesulitan dan penderitaan. Prestasi kehidupan sosial, ekonomi dan politik penganut sufi, selalu terarah bagi capaian kualitas spiritual, bukan semata bagi status sosial, penumpukan harta dan kuasa pribadi.

Kerakusan kapilatistik dan politik yang cenderung korup adalah lahir akibat perilaku ekonomi dan politik yang berororientasi hanya bagi peraihan kekayaan harta finalistik. Gagasan Imam al-Ghazali  dalam dinamika sejarah, ekonomi dan politik dalam doktrin zuhd dan faqr berarti peletakkan kegiatan ekonomi dan politik bagi pengabdian kepada Allah. Bukan menolak atau lari dari kehidupan empiris. Inilah transendensi dan radikalisasi dalam pemikiran filsafat. Proses demikian akan menumbuhkan kesadaran tentang diri, realitas alam raya, dan Allah. []

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *