Oleh: Drs. H. Rahmat Iskandar
(Sejarawan, Budayawan sekaligus Wartawan Senior Majalengka)
BARANGKALI ada yang belum tahu tentang tanggal 7 Juni yang digunakan sebagai hari jadi Majalengka. Inilah penjelasannya. Aliksah, pada tahun 1980 Pemda Majalengka membentuk tim kajian sejharah Majalengka yang diketuai R.Ugon Sugandi WP yang sering disebut Tim 22.
Penetapan tanggal 7 Juni tersebut berdasarkan kesepakatan Panitia 22 tersebut berasal dari perkiraan bahwa pada tahun 1490 adalah tahun saat tenggelamnya Kerajaan Sindangkasih setelah terjadi pertempuran sengit antara Cirebon dan Sindangkasih. Tak jelas apa hubungannya dengan Talaga yang baru diislamkan pada tahun 1530 M (Carita Parahiangan). Asal tanggal tersebut berasal dari tanggal 10 Muharam (tahunnya 1490 bukan pake hijriyah) dengan alasan pada saat itu merupakan hari saat diciptakannya alam semesta serta Nabi Adam AS.
Karena sudah disepakati tanggal 10 Muharam (1490 M) sebagai titik terbentuknya Kabupaten Majalengka, maka untuk selanjutnya pantiapun segera membuat perhitungan sistem kalender 500 tahun. Sampai kemudian ditemukanlah bahwa hari jadi Majalengka adalah tanggal 7 Juni 1490 M. Nah kenapa nggak 10 muharam saja atuh harijadinya? Kenapa jadi masehi? Cirebon juga toh memperingati harijadinya pada tanggal 1 muharam. Kalau dikonversi ke masehi, atuh bukan 10 muharam lagi ya Bro.
Kajian sejarah Majalengka sebelumnya memang selalu terpaku pada nama Pangeran Muhammad dan Nyi Rambutkasih yang selalu dijadikan sumber utama bagi pembahasan sejarah Majalengka. Cerita yang berasal dari legenda warga desa Majalengka. Nampaknya pada saat itu tak ada upaya lain untuk menetapkan proses kesejarahan tersebut secara benar dan bertanggung jawab.
Selama penelusuran sejarah berputar-putar di sekitar pendopo kabupaten Majalengka yang didirikan Belanda pada tahun 1834 M , dengan memaksakan keberadaan Pangeran Muhamad dan Nyi Rambutkasih, maka selama itu pula kebenaran sulit untuk di pertanggungjawabkan.
Baik Purwaka Caruban Nagari ataupun Babad Cirebon, menyebutkan bahwa Pangeran Santri adalah putra Pangeran Palakaran dari Nyi Mertasari atau Nyi Mayangsari, putri Ki Ageng Japura. Anehnya lagi, Pangeran Muhamad ini lahir pada tahun 1478, artinya pada saat ke Sindangkasih pasti umurnya balum mencapai 12 tahunan.
Bayangkan, dia sudah bisa menjadi ulama yang disegani dan sanggup mengalahkan Ki Ageng Mandapa dan Ki Ageng Kulur. Lalu ingat pula bahwa nama Pangeran Muhamad dan Nyi Rambutkasihpun tak terekam oleh kitab susunan Pangeran Wangsakerta maupun Pangeran Arya Carbon yang disusun pada tahun 1786 M. Pustaka ini hanya menyebutkan kerajaan Talaga dan Rajagaluh sebagai dua kerajaan yang ada di Majalengka. Namun tak menyebut adanya seorang penyebar agama Islam yang kemudian jadi raja di Sindangkasih dan ada hubungannya dengan Pangeran Santri di Sumedang.
Secara logika kesejarahan, kalau betul itu terjadi (ada kerajaan yang bernama Sindangkasih dan ditaklukkan Pangeran Muhamad), maka kejadian itu merupakan peristiwa besar. Pangeran Wangsakerta tentu tak akan meloloskan begitu saja peristiwa tersebut untuk masuk kedalam babon tulisannya.
Coba simak, Nama Parunggangsa, Sunyalarang, Secanata, Cakraningrat dari Talaga dan Rajagaluh toh tertulis di pustaka Cirebon tersebut. Lalu kenapa Sindangkasih yang runtuh pada tahun 1490 kok tak terekam Wangsakerta. Ini aneh, kan? *(bersambung) *