Oleh : Eva Nur Arofah
Sebaliknya, mereka juga dengan tangan terbuka menerima kehadiran Kang Alwy dalam berbagai kesempatan. Pada sisi lain, ketika menyangkut hal prinsip, Kang Alwy sangat keras kepala dan tak kenal kompromi.
Kang Alwy adalah aktivis radikal yang tidak tahan melihat kesewenang-wenanangan dan penyimpangan, jugasangat membenci intelektual (dan akademisi) yang tidak memiliki karakter dan lebih menampakkan basa basi ketimbang memegang nilai-nilai prinsip secara tegas.
Kang Alwy juga sosok guru yang galak, pelit pujian, dan tidak pandang bulu; siapapun akan dikatakan bodoh oleh Kang Alwy jika bertanya atau berpendapat tanpa disertai ‘akal sehat’ dan alasan yang rasional.
Itulah uniknya Kang Alwy. Selalu punya banyak cara dalam menghadapi berbagai peristiwa, juga orang per-orang. Kang Alwy begitu pemurah dengan apa yang dimiliki, utamanya pengetahuan. Kang Alwy mempersilahkan anak-anak muda, juga teman-temannya menggunakan properti yang ada untuk kepentingan—lagi-lagi— pengetahuan.
Kang Alwy bahkan menyediakan tempat dan waktu, juga pilihanseluas-luasnya bagi teman-teman, dari dalam dan luar negeri, yang ingin berekspresi lewat Dewan Kesenian Cirebon (DKC), Lingkar Studi Sastra (LSS), atauCenter for Social Studies and Culture (CSSC).
Dari sini, saya sebagai istrinya menyadari betul bahwa Kang Alwy bukan semata-mata milik keluarganya, tapi Kang Alwy adalah milik publik, juga milik mereka yang mengaku “murid” Kang Alwy.
Aray, Husen, Arif, Rahman, Nisa, Upi, dan lainnya, yang mengaku murid Kang Alwy, mungkin tidak sempat menyaksikan bagaimana mata Kang Alwy berbinar, terharu, dan tersenyum bahagia melihat kalian bergerak mandiri, matang dan mapan. Kami menikamati itu semua….
Dan, tanpa harus menjelaskan kepada keluarga saya, mereka akhirnya mengerti, menghormati, dan mencintai Kang Alwy yang “pinter dan kendel”(pandai dan berani), begitu keluarga saya menyebutnya. (bersambung)
