Tadarus Kopi! dari Minuman Kesukaan Para Wali, hingga Filosofi Kopi ala Gus Dur

Citrust.id – Setelah Pondok Pesantren (Ponpes) Gedongan, Kecamatan Pangenan, kini giliran Ponpes Buntet, Kecamatan Astanajapura, Kabupaten Cirebon yang disambangi Forum Kopi Marani Ngopi Cirebon.
Kegiatan mingguan selama ramadan yang diberi judul “tadarus ngopi bareng santri” ini bertujuan memperkenalkan kopi nusantara, yang merupakan kopi asli dari berbagai daerah di Indonesia.

“Setiap daerah memiliki jenis atau khas kopi tersendiri. Apalagi Indonesia merupakan penghasil kopi terbeasar nomor 4 di dunia. Ini suatu kebanggaan dan masyarakat termasuk santri harus tahu itu,” ungkap Kim Abdurokhim, salah satu pegiat kopi pelaksana acara tersebut, Selasa (29/05).

Kenapa para pegiat kopi ini memilih pesantren sebagai lokasi kegiatan? Kim dan kawan-kawan beralasan, bahwa pesantren merupakan tempat tumbuh kembang budaya “ngopi”, jauh sebelum uforia dunia kopi masuk dan menjangkiti masyarakat Cirebon saat ini.

“Ini berbanding lurus dengan apa yang dikatakan Habib Umar Muthohar, ulama kharismatik NU dari Semarang. Menurut beliau, kopi itu minuman kesukaan para wali,” imbuh Kim.

Saking membuminya kopi di lingkungan pesantren, almarhum KH Abdurahman Wahid atau biasa disapa Gus Dur sampai membuat petuah kehidupan yang diambil dari filosofi kopi.

Menurut Gus Dur, minuman kopi itu terdiri dari tiga unsur, yakni kopi, gula dan rasa. Jika kopi terlalu pahit siapa yang salah? Gula-lah yang disalahkan, karena terlalu sedikit hingga “rasa” kopi pahit.

Jika kopi terlalu manis, siapa yang disalahkan? Gula lagi, karena terlalu banyak hingga “rasa” kopi manis. Jika takaran kopi dan gula seimbang, siapa yang dipuji? Tentu semua akan berkata, kopinya mantap. Kemana gula yang mempunyai andil membuat “rasa” kopi menjadi mantap.

Mari Ikhlas seperti gula yang larut tak terlihat tapi sangat bermakna.‎ Gula pasir memberi rasa manis pada kopi, tapi orang menyebutnya kopi manis bukan kopi gula. Gula pasir memberi rasa manis pada teh, tapi orang menyebutnya teh manis bukan teh gula.

BACA JUGA:  Kolonel Arm Maryudi Jadi Danrem 063/SGJ yang Baru

Orang menyebut roti manis, bukan roti gula. Orang menyebut sirup pandan, sirup apel, sirup jambu, padahal bahan dasarnya gula. Tapi gula tetap ikhlas larut dalam memberi rasa manis.

Namun apabila berhubungan dengan penyakit, barulah gula disebut penyakit gula. Begitulah hidup, kadang kebaikan yang kita tanam tak pernah disebut orang, tapi kesalahan akan dibesar-besarkan.

“Ikhlaslah seperti gula. Larutlah seperti gula. Tetap semangat memberi kebaikan. Tetap semangat menyebar kebaikan, karena kebaikan tidak untuk disebut, tapi untuk dirasakan. Itu pesan guru bangsa dari secangkir kopi,” terang Kim, yang fasih dengan petuah Gus Dur itu.

Dalam kegiatan tadarus kopi yang diadakan setelah salat tarawih tersebut, para santri bukan hanya dikenalkan berbagai jenis kopi nusantara, tapi juga diajari praktik langsung meracik dan menyeduh kopi yang baik dan benar oleh para pegiat kopi.

“Kami sangat mengapresiasi kegiatan ini. Karena ini adalah hal baru dan menarik di momen ramadan,” pungkas Jimmy Mu’tashim Billah, perwakilan pengurus Ponpes Buntet. /riky sonia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *