Oleh Uyung Nuha
Akhirnya, saya memilih untuk keluar. Keluar dalam arti mencari sesuatu yang tidak saya dapatkan di kampus yang tidak cukup luas dan monoton itu. Saya mencari teman ke kampus-kampus tetangga, berdiskusi, menghadiri berbagai forum. Sendiri. Sampai akhirnya saya bertemu dengan sastrawan, seniman Cirebon yang sampai hari ini menjadi panutan dan guru menulis saya. Darinya saya menemukan harapan untuk mengembangkan ketertarikan saya terhadap dunia tulis-menulis. Dengan percaya diri maksimal, saya menyodorkan kumpulan tulisan saya yang sudah saya catat berlembar-lembar dalam note block untuk dinilai. Responsnya datar, buku itu tak diacuhkan, beruntung tidak sampai dirobek-robek. Saya ciut.
Dari sana saya tahu, menulis tidak cukup modal nekat. Saya mulai pilih-pilih ketika membaca, mengumpulkan referensi nama penulis-penulis bagus, membeli buku minimal sebulan sekali, membuat jadwal ketat, hingga satu karya pertama lahir di media massa, disusul karya kedua, ketiga, dan seterusnya. Dosen-dosen pun kaget, ketika mahasiswa lain sedang menyusun paragraf yang akan menjadi sebuah wacana di kertas folio bergaris, mereka sudah bisa menikmati tulisan saya sembari manggut-manggut dan memintanya untuk disimpan.
Menulis Menentukan Kualitas Diri
Maka tidak heran jika Sastrawan Taufik Ismail pernah berkata bahwa bangsa Indonesia rabun membaca dan lumpuh menulis. Pasalnya, pembelajaran menulis di sekolah-sekolah maupun perguruan tinggi masih dianggap menjadi momok yang menakutkan. Pada akhirnya, yang menjadi kambing hitam adalah bakat. Percaya atau tidak, bakat hanya 1% selebihnya yakni 99% adalah usaha dan kerja keras, demikian yang diucapkan guru menulis saya.
Betapa menulis bukan perkara mudah. Juga tidak terasa sulit jika kita ingin serius mencintai dan menggelutinya. Menulis bukan untuk bergaya agar dikenal banyak orang. Di sana gagasan dipertaruhkan. Kualitas diri dipertanyakan. Dari sana saya belajar menghargai mahalnya ilmu, mulianya pikiran. Banyak orang yang mengklaim dirinya penulis namun masih hobi mencomot karya orang lain. Saya belajar untuk jujur kepada diri saya sendiri, saya berani mengatakan bahwa tulisan saya buruk tetapi saya juga berani untuk memperbaikinya dengan cara membaca dan berdiskusi dengan siapa saja dan di mana saja.
Saya menemukan jawaban dari ucapan Pram, hidup ini memang harus dibuktikan dengan karya. Kalau masih muda tapi sudah merasa produktif, merasa hebat, malas membaca, celakalah!***
*) Penulis bergiat di Lingkar Jenar