Ilustrasi
Oleh SUTEJA IBNU PAKAR
SATU abad setelah masa Wali Songo, abad 17, Mataram memperkuat pengaruh ajaran para wali. Pada masa pemerintahan Sultan Agung, yang dikenal sebagai Sultan Abdurrahman dan Khalifatullah Sayyidina Penotogomo ing Tanah Jawi (memerintah 1613-1645 M = 1022-1055 H) mulai dibuka kelas khusus bagi para santri untuk memperdalam ilmu agama Islam (kelas takhashshush) dengan spesialiasi cabang ilmu tertentu, serta pengajian tarekat, atau pesantren tariqat.
Hal baru yang sangat menarik adalah inisiatif Sultan Agung untuk memperhatikan pendidikan pesantren secara lebih serius. Dia menyediakan tanah perdikan bagi kaum santri serta memberi iklim sehat bagi kehidupan intelektualisme keagamaan (Islam) hingga mereka berhasil mengembangkan tidak kurang dari 300 buah pondok pesantren. Kenyataan ini identik dengan dinamika dan kemajuan yang dinikmati Madrasah Nidzamiyah Baghdad ketika pada masa-masa keemasannya di bawah kepemimpinan al-Ghazali.
Pada tahap-tahap pertama pendidikan pesantren, memang masih memfokuskan dirinya kepada upaya pemantapan iman dengan latihan-latihan ketarikatan daripada menjadikan dirinya sebagai pusat pendalaman Islam sebagai ilmu pengetahuan atau wawasan. Sebagai contoh Pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon. Pesantren tertua di Jawa Barat ini didirikan pada tahun 1817 M = 1233 H. oleh Ki Jatira (salah seorang murid Maulana Yusuf dan sekaligus utusan Kesultanan “Hasanuddin” Banten). Seperti banyak dikemukakan dalam perjalanan sejarah, bahwa seputar abad ke-17 dan 18 M, dimana pesantren mulai dirintis, kondisi masyarakat pada umumnya masih demikian kental dengan tradisi mistik yang kuat.
Eksistensi pesantren sebagai lembaga pendidikan keagamaan Islam mistik saat itu dikarenakan oleh sebab-sebab yang berasal dari luar pesantren. Sebab-sebab dimaksud adalah langkanya literatur keislaman di Jawa ketika itu sebagai konsekuensi logis dari kurangnya kontak antar umat Islam di Jawa dengan Timur Tengah, yang disebabkan oleh politik pecah belah Belanda yang tengah berusah keras menunjang penyebaran agama Kristen di Nusantara.
Pesantren dalam bentuknya semula tidak dapat disamakan dengan lembaga pendidikan madrasah atau sekolah seperti yang dikenal sekarang ini. Perkembangan selanjutnya menunjukkan pesantren sebagai satu-satunya lembaga pendidikan tradisional yang tampil dan berperan sebagai pusat penyebaran sekaligus pendalaman agama Islam bagi pemeluknya secara terarah. []