Cirebontrust.com – Tim Advokasi Untuk Keadilan Iklim atas kuasa para penggugat Rakyat Penyelamat Lingkungan (Rapel) menyampaikan surat nota keberatan pernyataan banding Pemerintah Provinsi Jawa Barat, terkait pencabutan Izin Lingkungan PT. Cirebon Energi Prasarana (CEPR), konsorsium pembangun Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) 2 Cirebon, ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Bandung.
Hal ini merespons pernyataan banding kuasa hukum Kepala Badan Penanaman Modal dan Perizinan Terpadu (BPMPT) Pemerintah Provinsi Jawa Barat, yang dilayangkan pada Jumat (21/04) lalu atas Izin Lingkungan untuk PT. Cirebon Energi Prasarana (CEPR).
Sebelumnya, Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Bandung pada Rabu (19/04) lalu telah memutuskan perkara nomor 124/G/LH/2016/PTUN-BDG, bahwa izin lingkungan tersebut dibatalkan/dicabut karena mengandung kesalahan atau cacat yuridis.
Peraturan yang dirujuk dalam pernyataan banding adalah Peraturan Presiden Nomor 4 tahun 2016, pasal 31 yang menyatakan Perubahan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dimungkinkan bagi proyek-proyek yang menjadi bagian program strategis ketenagalistrikan. Proses perubahan RTRW harus melalui proses dan ketentuan yang berlaku.
“Perubahan tata ruang melibatkan DPRD Kabupaten Cirebon dan dalam prosesnya pemerintah tidak bisa memaksakan perubahan ruang sesuai keinginan proyek. Jika ternyata perubahan tata ruang ditolak, maka proyek tersebut selamanya melanggar tata ruang. Kami minta untuk disampaikan kepada para tergugat,” ujar Dwi Sawung, juru kampanye WALHI dalam siaran persnya, Jumat (05/05).
Kenyataannya, perubahan RTRW Kabupaten Cirebon belum rampung prosesnya, tetapi Izin lingkungan PT. CEPR tetap diterbitkan. Kejahatan tata ruang ini sangat jelas dan tidak bisa diperdebatkan lagi, karena sudah jelas diatur dalam Undang-undang (UU) nomor 26 tahun 2007 tentang Tata Ruang, pejabat yang menerbitkan dan badan usaha atau orang yang melanggar tata ruang maka ancamannya adalah pidana.
Sementara terkait peraturan perundangan tentang lingkungan hidup, berdasarkan Peraturan Pemerintah nomor 27 tahun 2012 tentang izin lingkungan bagian kedua, pasal 4, angka 3 menyatakan bahwa, dalam hal lokasi rencana usaha dan atau kegiatan tidak sesuai dengan rencana tata ruang, dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) tidak dapat dinilai dan wajib dikembalikan kepada Pemrakarsa.
“Jelas ini bukan hanya kesalahan kecil atau teknis semata, tetapi kesalahan yang dilakukan dengan sengaja oleh pemerintah yang merupakan sesuatu yang bersifat fatal,” jelas Wahyu Widianto, manajer kampanye WALHI Jawa Barat.
Wahyu menambahkan, dalam hal ini pemerintah melanggar tata ruang yang mereka sepakati, membuat dan berusaha memutihkan pelanggaran yang telah mereka lakukan. Hal ini merupakan moral hazard atau sifat yang akan menambah besarnya kerugian dibanding dengan resiko rata-rata, karena masyarakat bisa dengan mudah mencontohkan perilaku pemerintah.
Perda RTRW Kabupaten Cirebon Nomor 17 tahun 2011 telah memperhitungkan kajian lingkungan hidup strategis Cirebon-Indramayu-Majalengka-Kuningan (Ciayumajakuning), maka tidak bisa pemerintah dengan mudah begitu saja merubah luasan, fungsi, peruntukan dan penata gunaan wilayah Cirebon. Perubahan rencana tata ruang wilayah harus dibarengin dengan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS), sehingga daya dukung dan daya tampung suatu wilayah dapat terukur apakah suatu wilayah dapat dibangun PLTU batubara atau tidak.
“Sekali lagi kami tegaskan ini bukan sekedar kesalahan teknis tetapi kejahatan yang tidak hanya merampas ruang hidup nelayan, tetapi juga kerusakan ekosistem pesisir dan kelautan wilayah Cirebon,” tegasnya.
WALHI juga mempertanyakan urgensi dari proyek pengembangan PLTU Cirebon 2. Pasalnya, proyek pembangunan kelistrikan ini tidak dalam posisi genting, karena saat ini sistem kelistrikan Jawa-Madura-Bali (Jamali) sudah surplus atau mengalami kelebihan pasokan listrik banyak sekali, dan diperkirakan sampai tahun 2022 masih cukup tanpa membangun pembangkit listrik baru.
Sementara, Ketua Komisi 3 DPRD Kabupaten Cirebon, Suherman alias Anger mengatakan, dengan putusan PTUN ini, adalah bukti bahwa proses pembuatan Amdal, perizinan dan proses lainnya untuk kepentingan pembangunan proyek PLTU 2 berkapasitas 1X1000 Megawatt dilakukan tidak benar.
Politisi PDIP tersebut dengan tegas meminta agar PT. CEPR menghormati dan mentaati hasil putusan PTUN terkait gugatan hukum, dengan menghentikan seluruh proses kegiatan pembangunan. Meski tidak ada larangan untuk melakukan kegiatan pembangunan selama proses banding berlangsung.
“Harusnya PLTU menghentikan kegiatan pembangunan, sebagai tanggungjawab moral. Saya akan sampaikan ini ke dalam sidang DPRD untuk menentukan sikap kami mengenai persoalan ini,” tandasnya. (Riky Sonia)