Minyak Wangi “Tjap Tjina Klontong Betoel”

-dok istimewa

Oleh: Nurdin M Noer*

ETNIS Tionghoa memang dikenal ulet dan pantang menyerah dalam berusaha. Jalan apapun ditempuhnya hanya untuk menutupi kebutuhan hidup. Sejak sekira tahun 1860an, para imigran asal Cina (Tiongkok) itu menjajakan dagangannya keliling kampung. Hingga pada iklan koran tahun 1867 terpampang gampar “eau de lavande” Tjap Tjina Klontong Betoel.

Iklan itu rupanya hendak memberi tahu calon konsumennya, bahwa ia menjual “minyak bunga lavender” yang asli. Pedagang itu menjajakannya keliling kampung dan dijadikan sebagai dagangan barang klontong. Wangi bunga lavender memang sangat terkenal sejak ratusan tahun lalu. Konon minyak wangi itu merupakan pewangi khusus untuk para ratu di negara Prancis. Umumnya mereka merupakan istri para Louis yang kaya raya dan otoriter.

Namun ketika barang itu muncul di tanah Hindia Belanda, minyak lavender dijual “gentongan” dan dijajakan keliling kampung layaknya barang klontong. Nama “Tjina” rupanya telah menjadi merek dagang yang bisa dipercaya. Rasanya belum mantap, jika tak mencantumkan label “Tjina” pada dagangannya. Dan memang hanya kalangan etnis Cina sajalah yang nampaknya mampu memasak bunga lavender menjadi minyak wangi.

Sementara pada sisi yang berbeda, kalangan etnis Cina lainnya masih tetap setia dengan barang dagangan berupa klontong, seperti kain, alat dapur dan pakaian. Jenis pedagang klontong inipun hingga ratusan tahun mengakar dan menyebar, hingga etnis tersebut sangat dikenal sebagai pedagang kecil keliling. Hanya sebagian saja di antara mereka yang memiliki toko. Maklum etnis Cina imigran itu dating ke Hindia Belanda dalam kondisi miskin, meski akhirnya Pemerintah Hindia Belanda menetapkan mereka sebagai golongan “Timur Asing” bersama etnis Arab dan India.

Setelah melampaui ratusan tahun, etnis Cina keturunan ini menjadi kekuatan ekonomi tersendiri. Ketika terjadi kerusuhan etnis tahun 1998 dan mereka terpaksa untuk sementara hijrah ke negara tetangga, sangat terasa dampaknya bagi masyarakat pribumi. Ratusan toko tutup dan harga melambung tinggi.

BACA JUGA:  Heboh Kabar Anak Terlindas Mobil di SPBU Kuningan, Ini Langkah Polisi

Menurut budayawan Tionghoa asal Cirebon, Jeremy Huang, di Asia Tenggara, peluang yang muncul dari transformasi ekonomi dipelopori pelaku industrial kolonial Barat dengan cepat ditangkap imigran China. Sebelum abad ke-19 para perantau China yang meninggalkan tanah airnya dilarang membawa anak isteri, mereka untuk merantau. Barulah pada abad ke-19 mereka diizinkan membawa anak isteri. Pada awalnya imigran bangsa China ke Asia Tenggara secara luas terlibat dalam aktivitas dagang menggunakan tabungan yang telah mereka kumpulkan.

Aktivitas ini biasanya dimulai sebagai usaha yang dimiliki perseorangan. Ketika para pedagang China ini telah mengumpulkan dana lebih banyak, mereka membangun jaringan bisnis yang lebih luas dan mengumpulkan pengalaman yang cukup dan informasi pasar untuk perlahan bergerak ke sektor industri dan manufaktur. Dari sektor perdagangan, pedagang China periode awal melakukan diversifikasi ke aktivitas ekonomi yang yang berdasarkan sumber daya, seperti penggilingan beras, pengerukan timah, pemrosesan karet, dan banyak aktivitas lainnya.

Sampai saat ini mereka masih merantau untuk mencari kehidupan yang lebih baik, dulu sebagai penjual kain sutera dan keramik, saat ini mereka berbisnis barang-barang elektronika, makanan, guci dan keramik juga serta komputer. []

*Penulis adalah pemerhati kebudayaan lokal.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *