Bupati Salmon Larang “Tradisi Ngaras”

dok/istimewa

Oleh Nurdin M Noer*

PEMERINTAH Kolonial Belanda merancang komplek pemerintahan Kabupaten Cirebon di Kejaksan. Selain membangun pendopo rumah bupati dan alun-alun Kejaksan, dibangun pula “Tajug Agung“ Kabupaten Cirebon yang sekarang menjadi Masjid Raya At-Taqwa. Bangsa Belanda sebagai penjajah sangat paham, bahwa masyarakat Cirebon adalah masyarakat yang tidak dapat dipisahkan dengan tajug (musala), kebudayaan dan tradisi Cirebon sangat dilandasi nilai-nilai Islam.

Belanda banyak belajar dari perang Santri Cirebon atau Perang Kedongdong, yang puncaknya terjadi tahun 1806-1818 yang melelahkan dan membawa banyak korban. Belanda tetap melestarikan peran bangunan tajug atau masjid dalam pemerintahan. Namun mereka menciptakan berbagai tradisi penghormatan berlebihan terhadap para sultan, kiai, penghulu, pemimpin keagamaan, bupati, serta pangrehpraja.

Dibangkitkannya “taklid buta” dan pengultusan para pemuka agama yang mengakibatkan perpecahan dalam tubuh umat Islam. “Penghormatan yang berlebihan tersebut diantaranya tradisi menyembah, mengesod, berjongkok, dan bersujud yang disebut sebagai tradisi ngaras.

“Tradisi Ngaras” akhirnya dilarang pada 4 Juli 1915 oleh Kanjeng Boepati Cheribon Raden Adipati Salmon Salam Soerjadiningrat (1902-1918), yang membangun Tajug Agung Kabupaten Cirebon dengan alasan tidak sesuai dengan syariat Islam dan kebiasaan kaum muslimin,” ungkap pendiri Komunitas Kendi Pertula Mustaqim Asteja. “Tradisi Ngaras diganti dengan tradisi uluk salam, mengucapkan salam dan berjabat tangan sesuai syariat Islam.

Pada masa lalu, di Jawa seorang raja atau sultan dianggap sebagai wakil Tuhan di bumi. Apa-apa kalimat yang keluar dari mulut raja/ sultan adalah sesuatu yang wajib diikuti. Kata-kata itu seperti sabda yang turun dari langit. Ia tak boleh disela, haram dibantah. Itulah pula cara mereka menyembah seperti benar-benar menyembah Tuhan-nya.
Jika maju menghadap raja atau sultan, muka ditundukan meratapi lantai, tak boleh bangun mendongak, apalagi bangkit menatap-menantang pandang sultan. Bahkan jika yang menghadap adalah rakyat biasa, ia telah harus berjalan ngesot kira-kira beberapa meter dari muka singgasana raja atau sultan. Dalam ngesot itu, ia harus pula menundukan kepala, menggaruk lantai memakai bokongnya (net).

Warisan budaya yang ada di Cirebon ini bukan hanya yang bersifat benda saja, melainkan ada yang berupa tak benda. Akan tetapi masyarakat lebih memahami, bahwa warisan yang ada hanya berupa benda saja. Ada kecenderungan, warisan budaya berupa benda seakan-akan ingin dihilangkan oleh masyarakat atau pun pemerintah, dikarenakan beberapa alasan yang sifatnya komersil.

Mustaqim Asteja menilai pemerintah kota/ kabupaten maupun pusat masih kurang tegas dan kurang perhatian terhadap benda cagar budaya ini.  Pemerintah masih memandang sebelah mata tentang pemeliharaan benda cagar budaya.

Sebenarnya banyak faktor diantara ketidaktahuan aparat pemerintah, atau akibat adanya kepentingan pembangunan yang lebih mementingkan nilai kebendaan saja, tetapi tidak melihat bangunan cagar budaya ini merupakan ikon daerah Cirebon. Pelestarian benda cagar budaya bisa dimanfaatkan untuk kepentingan pendidikan dan sejarah.

“Untuk itu Pemerintah Kota Cirebon sendiri telah  mengeluarkan Surat Keputusan Walikota Cirebon Nomor 19 tahun 2010 tentang Perlindungan Cagar Budaya agar tidak dirusak,” katanya.

“Harapan kami pemerintah bisa lebih bijaksana dalam menangani masalah benda cagar budaya ini agar tidak hilang, dan bisa dijadikan ikon Kota Cirebon sebagai kota yang banyak menyimpan bangunan bersejarah peninggalan zaman dahulu,” pungkas Mustaqiem. []

*Wartawan Senior dan pemerhati kebudayaan lokal.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *