Oleh Sutejo Ibnu Pakar
KH. ABDUL JAMIL (1842-1910 M.) DAN TAREKAT SYATARIYAH
DATA tertulis menunjukkan bahwa, Pesantren Buntet mulai ada perkembangan ketika pada periode kepemimpinan KH. Abdul Jamil (1842-1910), setelah kepulangnya dari bermukim di Makkah. Usahanya yang dilakukan pertamakali adalah memperbaiki sarana fasilitas yang telah dianggap rapuh, penyusunan jadwal pengajian, penambahan metode pengajaraan Kitab Kuning yaitu tidak hanya menggunakan metode tradisional seperti metode sorogan dan bandongan tetapi dikembangkan juga metode lain seperti mujadalah (diskusi) bahkan pada saat itu dikembangkan juga sistem klasikal (madrasi). Masa ini sering dikatakan sebagai kebangkitan kembali pesantren yang ditandai dengan perubahan baru Pondok Pesantren Buntet.
Agar pesantren lebih maju KH. Abdul Jamil, terkenal dengan panggilan Den Jamil (Raden Abdul Jamil) selanjutnya masyhur disebut Syekh Jamil, segera menghimpun para kiyai lingkungan keluarganya, saudagar/ pedagang, dan lain-lain untuk membangun dan menata kembali sarana fisik dan aktivitas pesantren.
Asrama santri diperbaiki dan ditambah jumlahnya. Berkat bantuan sahabat terdekat yang pernah berguru Kepada Syekh Jamil yaitu seorang haji terkaya dari Kanggraksan Cirebon, maka dibangunlah masjid di kompleks pesantren (sampai sekarang masjid ini masih digunakan dan terawat baik). Kemudian dibangun pula sarana perhubungan komunikasi berupa jalan dan jembatan yang menghubungkan kompleks pesantren dengan desa sekitarnya.
Pembangunan jalan dan jembatan ditempuh dengan cara menukar tanah Syekh Jamil kepada pemerintah yang saat itu membutuhkan sekali guna pembuatan sungai, sebidang tanah yang menjorok melintas tanah pekarangan milik Syekh Jamil. Jembatan tersebut dikenal masyarakat dengan nama Kreteg Uwung (jembatan lalu lintas orang/manusia), sedangkan jalan yang dibangun diberi nama Dalan Sekerikil (Jalan sebesar Kerikil).
KH. Abdul Jamil menginginkan semua keluarga terlibat agar pesantren semakin semarak. KH Abdul Jamil meminta keluarga dan sanak familinya (KH. Abdul Mun’im, Kiai Tarmidzi, KH Abdul Mu’thi, Kiai Muktamil, Kiai Abdullah, dan Kiai Chamim) menggelar pengajian, antara lain dengan sistem halaqoh berbagai ilmu dan kitab salaf digelar secara rutin di masing-masing rumah kiai dan di masjid. Adapun para putera kyai dikirim ke pesantren-pesantren tertentu di Tanah Jawa untuk menimba ilmu.
Syekh Abdul Jamil dikenal sangat tekun dan telaten menyebarluaskan Tarekat Syatariyah melalui pengajian-pengajian dan silaturahmi serta latihan bela diri. Seiring waktu, Pesantren Buntet santrinya semakin bertambah banyak berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Begitu juga murid-murid Tarekat Syatariyah semakin merebak ke berbagai daerah di Jawa. Mereka (para pengamal tharekat) juga sering berkumpul untuk mengadakan acara khusus untuk lebih mensucikan diri (tazkiyat al-Nafs) dan taqorrub ila Allah melalui dzikir-dzikir tertentu. Demikian pula tiap bulan suci Ramadhan, Pondok Pesantren Buntet dipenuhi para santri dari Tanah Jawa dan Luar Jawa yang mengikuti pengajian “pasaran”.[]