Citrust.id – Ikatan Penerbang Curug 53 mendorong pemerintah untuk melanjutkan rencana pengelolaan ruang udara di atas Natuna, Tarempa dan Kepulauan Riau. Hal itu terungkap dalam seminar Pengembalian Kontrol Flight Information Region (FIR) di Atas Wilayah Kedaulatan NKRI dari Singapura.
Marsekal Purnawirawan, Chappy Hakim, menyatakan, sejak 1946, FIR tidak ada hubungannya dengan kedaulatan. Dana yang tidak ada dan SDM yang belum memadai jadi alasannya.
“Padahal kekuatan udara sangatlah penting untuk mempertahankan kedaulatan NKRI. Saya berharap banyak pada generasi muda saat ini,” ujarnya dalam keterangan tertulis yang diterima, Selasa (21/1).
Menurut Direktorat Hukum dan Perjanjian Kewilayahan Kementerian Luar Negeri, Andy Aron, Indonesia belum memanfaatkan maksimum kewenangan sebagai negara yang mendelegasikan tanggung jawab pemberian layanan navigasi penerbangannya untuk memberikan persyaratan yang perlu dipenuhi oleh Singapura. Selain itu, Indonesia belum memanfaatkan secara maksimum kerangka kerja sama Civil to Military Cooperation ICAO sebagaimana diatur dalam Circular 330.
“Langkah diplomasi yang dilakukan Kemenlu antara lain melakukan tinjauan hukum nasional dan internasional, pendekatan dengan negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia yang Dilakukan sesuai dengan prosedur dalam Doc. 9673,” ungkap Andy.
Kasubdit Navigasi Departemen Perhubungan, Indra Gunawan, menyatakan Direktorat Perhubungan Udara mengusulkan strategi pemberian pelayanan ATC di Natuna, Tarenpa, dan Kepulauan Riau berbasis pada perjanjian tahun 1955. Adapun hal-hal pokok yang diatur dalam perjanjian tersebut antara lain, revisi gambar FIR, perubahan ruang udara Tanjungpinang, revisi koordinat SINJON di AIP Indonesia untuk mengikuti Singapura, jenis pelayanan navigasi penerbagngan, penambahan detail jenis layanan navigasi, serta penambahan prosedur koordinasi AIS.
“Pengelolaan lapis bawah atau lower level di bawah 20 ribu kaki telah tersertifikasi dan siap memberikan pelayanan dan sudah dilaksanakan uji coba oleh TNI AU dan penerbangan lainnya dengan hasil memuaskan,” ujar Indra.
Direktur Safety AIRNAV, Yurlis Hasibuan, menyatakan, Indonedia sudah siap secara teknis untuk melakukan kontrol FIR. Masalah SDM ataupun infrakstruktur tidak menjadi kendala lagi.
Sementara itu, Pilot Indonesia, Kolonel Dr. Supri Abu, mengungkapkan, untuk menghadapi kecenderungan liberalisasi penerbangan dunia, Indonesia harus mempunyai kebijakan baik dalam maupun luar negeri. Kebijakan luar negeri bertujuan agar Indonesia mampu merebut pasar ASEAN dengan jalan perbaikan pelayanan penerbangan, kerjasama antaroperator penerbangan nasional, dan merebut rute-rute penerbangan internasional.
Adapun kebijakan dalam negeri bertujuan untuk menjadi pihak yang bertahan dengan kebijakan peningkatan pelayanan penerbangan internasional dan memepertahankan kebijakan penggunaan wilayah udara seperti dalam UU No.1/2009.
“Untuk kepastian hukum, terdapat konsep pemidanaan terhadap pelanggaran wilayah udara Indonesia oleh pesawat asing yang harus dituangkan dalam UU tentang penggunaan wilayah udara. Tujuannya tercipta sinkronisasi peraturan perundangan menyangkut institusi yang menegakkan hukum di wilayah udara,” tutur Supri.
Selain itu, diperlukan juga konsep baru posisi ADIZ yang berhubungan dengan penegakan hukum. Pertama, Kohanudnas sebagai penegak hukum harus mampu mendeteksi sedini mungkin dan mampu melakukan tindakan penegakan hukum sebelum pesawat pelanggar memasuki wilayah udara NKRI.
“Kedua diperlukan sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum yaitu seperti alat deteksi dini dapat berupa radar, satelit, pesawat rotary maupun fix wing,” pungkasnya. (Abduh)