Catatan Dadang Kusnandar
Tidak tahu apa alasan di balik omongan teman (bahkan) yang lama tak jumpa. Jauh sebelum penetapan DCT, beberapa teman seakan “minta restu” tentang pencalegannya di tingkat kota. Teman-teman berbagai parpol itu masih memandang saya sebagai aktivis suatu parpol, meski saya sudah non-akif sejak tahun 2009.
Ya sudahlah, mau bilang apa lagi. Sebagai bentuk penghargaan pertemanan saya mengiyakan dan menjawab ala kadarnya bila ditanya. Pada umumnya, mereka yang berani mendaftarkan diri menjadi caleg sebuah parpol pasti telah menyiapkan diri untuk memasuki gelanggang politik dengan segala risikonya. Itu artinya, dalam skala kecil, ia telah paham apa dan bagaimana parlemen.
Di samping itu, para DCT sudah pasti menyadari betul tentang ketatnya persaingan untuk Pileg 17 April 2019 mendatang. Juga paham betul persentase peluang kemenangannya. 450 caleg yang terdiri atas 286 laki-laki dan 164 perempuan, dari 20 parpol yang bertarung–sudah menghitung secara kalkulatif dan rinci. Lima bulan ke depan bukan waktu panjang karena setiap saat adalah waktu penting memenangkan pertarungan. Dari 450 caleg itu akan dipilih 36 orang anggota legislatif.
Menyadari tingginya kompetisi untuk duduk menjadi anggota dewan kota, semua jalan dikerahkan. Salah satunya pendataan dan pendekatan kepada orang-orang berpengaruh yang baru saja selesai jadi tim sukses kepala daerah bulan Juni 2018. Mereka diundang dan atau diikutsertakan ke dalam tim sukses guna mensukseskannya sebagai anggota legislatif. Di sisi lain, mantan pegiat politik (tim sukses caleg/calon kepala daerah) bahkan ada yang menawarkan diri dan mendatangi langsung kepada caleg. Proses negosiasi pun berlangsung.
Suasana ini merupakan dinamika politik menjelang pemilu. Dinamka yang menyebarkan semangat dan optimisme caleg yang secara politik memungkinkan pelakunya berpikir dan bertindak positif. Minimal membangun citra diri agar tampak layak untuk dipilih dalam keterwakilan sejumlah orang dari daerah pemilihannya.
Dinamika pascapenetapan DCT pun melebar kepada sejumlah teman yang disinyalir memahami seluk beluk media massa cetak elektronik dan media sosial, juga teman-teman yang getol berbincang politik baik di tingkat kampus maupun non kampus. Kepada mereka pun para caleg merapat, berharap dukungan kongkrit selain sara-saran tentang kiat dan strategi pemenangan. Maka suasana pun makin semarak.
Suatu pagi, seorang teman lama mengetuk pintu rumah. Tanpa bilang babibu lagi ia menyodorkan nama seorang caleg dari dapil 3 Kota Cirebon untuk saya pilih.
“Punten, Pak Dadang, ini kakak saya anaknya uwa. Saya ingin mengubah nasib. Kalau ibu ini jadi dewan kota Cirebon saya mau diangkat jadi supir pribadinya. Jadi tolong pemilu nanti Pak Dadang pilih ibu ini ya”. To the point teman lawas itu menyampaikan maksudnya.
Saya tertegun. Tidak mengiyakan namun juga tidak menolak. Saya seperti diberondong isi bedil peluru karet yang berdesing lewat telinga (ketika masa-masa demo dulu). Betapa tidak, permintaannya (memberikan suara politik saya kepada caleg yang tidak saya kenal) tidak sesederhana jalan pemikirannya. Teman saya membantu sang caleg karena dijanjikan diberi pekerjaan apabila terpilih setelah pemilu legislatif 17 April 2019 nanti. Ia pun berkeliling membawa stiker sang caleg perempuan tersebut kepada semua teman yang diketahui rumahnya berlokasi di daerah pemilihan (dapil) yang sama.
Salahkah sikap kawan saya? Tentu saja tidak. Event politik lima tahunan sekali merupakan event terbuka seluruh masyarakat. Lantaran kerapnya model dan jenis pemilihan di Indonesia, maka peluang untuk masuk menjadi sub unit sebuah event politik bisa dilakukan oleh siapa pun. Terlebih bila ada minat dan kepentingan yang disematkan. Kawan saya berkata polos, “Banyak orang yang statusnya CUDP (Cari Uang Dalam Parpol)”.
Bab CUDP inilah yang akhirnya membuat kami tertawa karena bukan semata-mata olok-olok atau sindiran, melainkan sudah cukup banyak pelaku CUDP yang terbukti menyelewengkan uang negara dan tercuduk dalam OTT KPK.[]