JAKARTA – Majelis Ulama Indonesia menyesalkan sikap Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan pengacaranya terhadap Ketua Umum Ma’ruf Amin dalam sidang kasus dugaan penodaan agama di Auditorium Kementerian Pertanian pada Selasa (31/01) lalu.
“MUI menyesalkan tidak diindahkannya nilai-nilai etika, dan kehormatan lembaga peradilan dalam proses persidangan perkara Ahok,” kata Wakil Ketua Umum MUI Zainut Tauhid Saadi di gedung MUI, Jalan Proklamasi, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (02/02).
Bahkan Zainut Tauhid menilai sikap Ahok dan pengacaranya cenderung melecehkan Ma’ruf.
“Menyesalkan sikap tim pengacara maupun terdakwa terhadap saksi yang telah memberikan keterangan dalam persidangan, yang cenderung menekan dan melecehkan kebenaran keterangan saksi dengan sikap arogan dan tidak santun, serta tidak mengindahkan nilai-nilai kehormatan lembaga peradilan,” katanya.
Meski begitu, MUI belum menentukan langkah selanjutnya terhadap Ahok dan pengacara.
MUI meminta Komisi Yudisial, Mahkamah Agung, serta Kejaksaan Agung untuk mengawasi persidangan tersebut, sehingga berlangsung sesuai peraturan perundang-undangan dan etika persidangan.
“MUI belum pada posisi mengajukan laporan. Yang harus dipahami bersama masalah ini bukan perkara aduan, tapi peradilan umum, tanpa kita laporkan seharusnya pihak berwenang menindaklanjuti proses ini. Jadi persoalan ini bukan hanya persoalan bapak ketua umum, tapi persoalan publik, yang saya kira kehadiran penegak hukum sangat dibutuhkan,” kata Zainut.
Ketua Setara Institute Hendardi mengatakan, silang pendapat antara pengacara Ahok dan sejumlah pihak yang keberatan atas sikap Ahok serta kuasa hukum di pengadilan memberikan pembelajaran berharga dalam menyikapi persidangan, yang sejak awal sarat dengan tarikan politik kontestasi pilkada Jakarta.
Klarifikasi dari Ahok dan pengacara bahwa mereka membantah rencana melaporkan Ketua Umum MUI Ma’ruf Amin ke polisi, diharapkan tidak membuat Republik ini semakin gaduh.
Secara prinsip, kata Hendardi, dalam hukum dan juga dalam ruang pengadilan, setiap orang memiliki kedudukan yang sama.
“Siapapun dia, apakah orang miskin, berpendidikan rendah, atau pemuka agama. Apa yang dilakukan oleh Ahok dan kuasa hukumnya adalah bentuk cross examination terhadap saksi Ma’ruf Amin, yang adalah bagian dari proses mencari keadilan dan kebenaran atas tuduhan yang menimpa Ahok. Dengan demikian, apa yang terjadi di ruang sidang (31/1) adalah suatu hal yang biasa saja,” kata Hendardi.
Hendardi menambahkan, Kepada warga NU diharapkan tidak terbawa hasutan kelompok-kelompok yang hendak membenturkan NU dengan pendukung Ahok, dan memelihara ketegangan sosial untuk tujuan-tujuan tertentu.
Apalagi, kata Hendardi, posisi Ma’ruf Amin dalam sidang adalah sebagai Ketua MUI bukan sebagai Ketua Dewan Syuro NU.
“Jadi, tetap harus dilihat secara proporsional. Begitu pula untuk pihak-pihak lain mesti diingatkan untuk tidak mengintervensi dan mempengaruhi hakim, dengan membangun opini untuk mengaburkan masalah,” kata dia.
Bagi MUI, kata Hendardi, peristiwa eksaminasi atas Ma’ruf Amin kemarin memberikan pembelajaran, betapa sikap keagamaan MUI, baik yang dituangkan dalam bentuk fatwa atau pernyataan, memiliki dampak serius bagi ketertiban sosial dan bagi kemajemukan bangsa.
“Karena itu, pertimbangan matang dan mendalam saat mengeluarkan fatwa adalah hal yang niscaya. Apalagi MUI sendiri tidak memiliki perangkat pengendali dan pengawasan atas dampak sebuah fatwa. Karena posisi MUI yang menjadi panutan umat, maka sangat berbahaya jika MUI berpolitik dengan posisi dan kewenangannya,” katanya. (Eros)