oleh

Membangun Literasi

Oleh DADANG KUSNANDAR*

SETIAP orang bisa menulis. Surat cinta, diary, sms, posting/ komentar melalui media sosial ~contoh nyata bahwa menulis itu mudah. Berbagai ruang untuk menulis kian terbuka seiring kemajuan teknologi.

Sejak ditemukannya huruf dalam peradaban dunia, manusia berlomba memperbaiki serta mempercantik kebudayaannya. Bahkan sebelumnya ketika manusia purba menorehkan gambar cara berburu hewan (posisi tangan memegang tombak, waktu berburu dsb), juga hewan hasil perburuannya di dinding-dinding goa: literasi sudah dimulai.

Kebutuhan menyampaikan pesan pun terus berkembang. Contoh lain dapat kita saksikan dalam film-film silat Mandarin. Jurus-jurus ilmu silat ditorehkan di dinding goa. Tujuannya tidak lain agar siapa pun yang melihat gambar-gambar tersebut boleh memanfaatkannya.

Kenyataan itu menunjukkan bahwa dunia kepenulisan tidak boleh dianggap sepele. Dengan menulis, menurut para ahli, masa depan dibangun. Dan dengan menulis seseorang telah berani menyampaikan gagasannya kepada orang lain. Ini mengandung makna, tulisan apa pun yang dipublikasikan memiliki konsekuensi logis berupa pertanggungjawaban atas apa yang ditulisnya.

Mahfum adanya untuk menulis perlu kemampuan mengkombinasi isi pikiran lalu memformat sistematika dan analisis kepenulisan supaya dapat dipahami pembaca.

Cirebon sebagai bagian integral kebudayaan dunia telah mengenal tradisi menulis yang dibawaserta bersamaan dengan terbentuknya perdikan (wilayah kecil sebelum dapat dikatakan desa). Perdikan biasanya ditandai oleh sebongkah batu bertuliskan huruf Pallawa (peninggalan masa Hindu dan sebelumnys). Di sekitar batu itu satu dua keluarga mendirikan rumah, beranak pinak hingga membentuk perdikan.

Hal lain yang patut dicatat sehubungan dengan literasi ialah pesan yang disampaikan melalui bunyi/ tetabuhan. Dari tengah perdikan suara kentongan atau tambur mempunyai makna masing-masing yang dipahami oleh penerima pesan.

BERBINCANG dengan penulis kreatif asal Indramayu, Saptaguna tentang literasi bagai menyeret kembali kepada pentingnya menulis, membukukan hasil tulisan, mengetengakan buku sebagai kekuatan pikir dan dzikir penulisnya. Dalam relasi ini agaknya buku (dalam bentuk hard copy maupun soft copy) harus ditumbuhkembangkan kepada generasi penerus.

Upaya itu tentu saja mesti dibarengi dengan keinginan kuat membangun kembali tradisi menulis yang telah dilakukan oleh manusia purba jauh sebelum huruf ditemukan.[]

Komentar