Logo Pemerintah Kota Cirebon: dari “Per Aspera” Menjadi “Gemah Ripah”

Oleh: Nurdin M Noer*

TULISAN yang tertempel pada pintu besar kamar kerja Walikota Cirebon, masih kuat ditempel dengan potongan-potongan kaca. Tulisan tadi berbunyi,”Per Aspera Ad Astra”. Sayang tulisan tadi sering tertutup tirai pintu, sehingga jarang orang bisa melihat dan membaca tulisan itu. Di samping itu jarang orang yang paham makna dan sejarah tulisan tersebut.

Kalimat tadi diambil dari bahasa Latin dan jika alihbahasakan dengan bebas, berbunyi,”Setelah semak belukar, menjadi bintang cemerlang,” atau dalam bahasa Cerbon bernunyi,” Sesampuné ruwed ngampred, dados terang kinclong-kinclong.”Memang ketika awal abad ke-19, Cirebon merupakan kota yang jorok dan tak teratur, sehingga ketika memasuki awal abad ke-19 gambaran tadi belum berubah dari pandangan Pemerintahan Belanda. Keadaan kota benar-benar tidak teratur, becek, berlumpur dan comberan juga tak memiliki parit pembuangan air limbah rumah tangga. Akibatnya, setiap tahun ketika musim penghujan Kota Cirebon menjadi kebanjiran dengan ketinggian air yang bisa memasuki rumah.

Aliran sungai tadi benar-benar mengandalkan pada pasang surutnya air laut. Ketika laut pasang, sampah dan kotoran yang tenggelam dalam laut masuk ke dalam sungai dan menjadi tumpukan kotoran yang tebal pada muara sungai. Kotoran tadi menyebarkan aroma tak sedap. Karena itu warga yang rumahnya ada di sekeliling menyebut sungai tadi dengan nama “Kali Bacin”.

Lingkungan yang ada di sekeliling pesisir terasa gersang dan lebih panas. Karena itu pada kalangan masyarakat Cirebon ada sebutan,”Siapa saja yang menetap di Cirebon,harus berkenalan dahulu dengan penyakit panas (malaria). Jika telah tertimpa lan lolos dari kematian, baru diakui sah jadi warga Cirebon,” begitu pandangan tokoh Cirebon, Dahlan dalam keterangan saat peringatan hari jadi ke-50 Kota Cirebon (1906 – 1956).

“Kali Bacin” telah menjadi gelar yang terkenal pada kota-kota yang ada di Tanah Jawa saat itu. Aliran kali ada pada sepanjang Jl.Merdeka (saat ini). Karena keadaannya yang kotor tidak salah lagi,banyak nyamuk malaria yang berkembang dengan subur lan setiap saat merajalela dengan gigitannya. Konon tak ada orang yang lolos dari serangannya.

Melihat warga pribumi yang banyak terjangkit penyakit malaria dan prambosia, akibat dari kondisi lingkungan yang jauh dari standar kebersihan dan kesehatan, pemerintah meningkatkan perhatiannya terhadap kampung-kampung tadi, walaupun uang yang ada terbatas jumlahnya. Karena itu harus dipilih jalan dan selokan kampung mana yang harus dibenahi, kata sejarawan IAIN Cirebon Zaenal Masduqi. Zaenal sendiri sengaja mengambil tesis S2-nya dengan judul “Pemerintahan Kota Cirebon 1906 – 1942” pada program pascasarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 2010.

Program-program gemeente untuk mengubah pandangan Kota Cirebon yang kotor dan semrawut menjadi bersih dan tertib oleh Asisten Residen J.H. Eycken ketika tahun 1917 dengan menutup “Kali Batjin”. Ketika Kota Cirebon telah memiliki burgermester (walikota) yang tetap pada tahun 1920 pembangunan kota dilanjutkan J.H. Johan sebagai walikota pertama yang menunjukkan perhatian menangani kesehatan masyarakat kota.

Langkah yang dibuatnya, yaitu membuat gorong-gorong yang di bawahnya dilengkapi mesin pompa untuk menyalurkan air hujan, air sisa mandi, cucian dan lain-lainnya. Lainnya itu pada tempat-tempat yang sering terkena banjir dibangun solokan-solokan yang bisa membuang air limbah dengan baik. Sejak 1925 Kota Cirebon bebas dari bencana banjir dan bisa mengurangi serangan berbagai penyakit.Logo “Per Aspera ad Astra” diganti menjadi “Gemah Ripah Loh Jinawi” pada 1947 berbarengan dengan pengesahan Pemerintah Kota Cirebon sesuai undang-undang masa itu.(NMN)***

*Penulis adalah pemerhati kebudayaan lokal*

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed