Harga Gabah Kering di Kabupaten Majalengka Merosot

Citrust.id – Harga gabah kering giling di Kabupaten Majalengka terus merosot, seiring dengan terjadinya puncak musim panen di sejumlah wilayah.

Anehnya, turunya harga gabah ini belum banyak mempengaruhi terhadap penurunan harga beras di pasaran.

Masih mahalnya harga beras diduga akibat perubahan prilaku petani dalam pola penanganan pasca-panen, yang menjual seluruh gabah di sawah begitu panen selesai.

Akibat hal tersebut, Asosiasi Penggilingan Padi Majalengka memprediksi dua bulan kedepan Majalengka kembali akan kekurangan gabah dan beras.

Menurut keterangan sejumlah petani, harga gabah kering giling di tingkat petani saat ini anjlok mencapai Rp500 ribu per kw, hingga Rp520 ribu per kw. Harga jauh lebih rendah dibanding sebulan yang lalu, yang pada awal Februari harga gabah masih mencapai Rp750 ribu hingga Rp760 ribu per kw.

“Sekarang musim panen di mana-mana, jadi harga gabah pun terus merosot, sekarang panen masih terus berlangsung, jadi harga juga masih kemungkinan terus menurun,” ungkap Yaya petani asal Kelurahan Simpeureum, Kecamatan Cigasong, Senin (19/03).

Terus merosotnya harga gabah dikeluhkan sejumlah petani. Pasalnya menurut Mamah dan Ijoh petani lainnya, hasil panen musim rendeng di sawahnya jelek, karena tanaman padinya diserang hama barat dan patah leher.
Sehingga dari satu rumpun padi yang bulirnya bagus, diperkirakan hanya sebanyak dua hingga tangkai saja. Selebihnya kondisi gabah berwarna putih atau hampa.

Ketua Asosiasi Penggilingan Padi kabupaten Majalengka Dedi Koswara membenarkan harga beras premium bahkan medum yang masih tetap tinggi.
Untuk beras medium dari distributor ke tingkat agen masih mencapai Rp9.200 hingga Rp9.300 per kg. Sedangkan untuk beras premium dari distributor ke tingkat agen mencapai Rp10.200 per kg. Jadi wajar kalau di pasaran harga beras masih di atas Rp 11 ribu per kg.

BACA JUGA:  Istigasah Jadi Lahan Ibadah Jelang Dirgahayu RI dan HUT Kuningan

Dedi berpendapat mahalnya harga beras tersebut diantaranya diduga akibat prilaku petani, yang pola pemnanganan pasca panen. Yakni menjual seluruh gabah hasil panennya saat masih di sawah, sehingga gabah kering jarang beredar di petani.

Penjualan gabah tersebut bukan kepada bandar di Majalengka, namun bandar-bandar asal Indramayu yang langsung mendatangi petani di sawah. Sehingga wajar kalau gabah di petani begitu selesai panen sudah menipis.

“Persoalan lainnya adalah panen yang tidak merata, hasil penan yang kurang baik seperti halnya di wilayah Rajagaluh. Hanya yang pengaruhnya paling tinggi terhadap masih tingginya harga beras adalah perubahan perilaku petani pada penanganan pasca-panen,” ungkap Dedi. /abduh

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *