Kesenian Tarling Klasik Terancam Punah Oleh Tarling Modern

  • Bagikan

MAJALENGKA (CT) – Kesenian Tarling (Gitar Suling) klasik dipandang kalah pamor, dibanding dangdut pantura atau Tarling Modern bahkan kesenian tersebut sudah hampir punah.

Untuk menyikapi hal itu, Komunitas Konser kampung Jatitujuh dan Longscrit Yogjakarta, mengadakan workshop tarling dengan mengundang maestro tarling asal Majalengka, Wa Lulut dan Mang Itol.

Ketua pelaksana kegiatan, Ahmad Yusan Bonil mengatakan workshop tarling yang digelarnya bertujuan mendorong generasi muda khususnya para pelajar untuk mengenal dan mengetahui kesenian tarling, sekaligus mengenalkan pada masyarakat luas.

“Jangan sampai tokoh tarling, Wa Lulut dan Mang Itol ini hilang, terus musik tarlingnya juga ikut hilang. Kepada generasi muda jangan terbuai dengan budaya asing, tetapi kenalilah budaya sendiri,” ungkapnya Rabu (10/02).

Di tempat yang sama maestro Tarling asal Desa Ligung, Wa Lulut mengatakan kesenian tarling klasik merupakan musik trdisional yang akrab di telinga masyarakat jawa, khususnya mereka yang ada di wilayah III Cirebon. Meski ada wilayah yang dianggap berbahasa sunda, namun mereka telah mengakui jika Tarling tetap mereka kenal bahkan menyukainya.

Wa Lulut juga secara tegas menyatakan, Tarling memiliki ke khasan tersendiri. Bahkan, bagi pecintanya mereka tidak jarang terhipnotis dengan lantunan musik dan alunan suara sinden Tarling.

“Namun seperti kesenian tradisional lainnya, seni pertunjukan tarling saat ini kondisinya cukup memprihatinkan,” ujarnya.

Wa lulut Mengaku Diusianya 15 tahun dahulu, dia sudah belajar kesenian tarling. Awalnya Dibelikan gitar oleh orang tua dari Karanggetas Cirebon. Dikatakannya dia terus belajar dari mendengarkan Radio.

“Pada waktu itu saya belajar dengan mendengarkan musik bayeman, penganten baru. Selama kurang lebih 5 tahun,” ujarnya.

Kemudian, kecintaannya terhadap musik tarling klasik, semakin terasah setelah kenal dengan Djayana, tokoh tarling asal Cirebon yang waktu itu sedang manggung di Pangkalanpari.

BACA JUGA:  KPU Majalengka Lakukan Pemotretan Paslon untuk Surat Suara

“Saya dibawa sama Jayana manggung di Karangampel. Waktu belajar, Ketika salah membaca nada saya pernah dibanjur pakai air kopi,” kenangnya.

Setelah 3 tahun belajar dengan Djayana, Wa lulut mengaku baru bisa memainkan gitar dengan lancar. Bahkan Djayana berpesan kepada dirinya untuk tetap menjaga dan melestarikan tarling Klasik.

“Jika ada yg mau belajar tolong diajarkan,” ujar Djayana waktu itu.

Dikatakan Lulut, sekitar Tahun 1981 dirinya bertemu dengan, Wa Itol. Dari pertemuan itulah mereka membentuk grup tarling klasik pertama di Majalengka yang diberi nama Suci Budaya di Desa Leweunghapit, Kecamatan Ligung.

“Harapan saya ingin meneruskan seni tarling klasik kepada generasi Muda. Kita menilai di musik sekarang, sudah hilang rasa tarlingnya, karena sudah dicampuri dengan dangdut,” ujarnya.‬

Hal senada juga diungkapkan oleh, Mang Itol, Seni Tarling yang pernah mencapai puncak kejayaannya pada tahun 1970–1980an itu, dewasa ini keberadaannya bisa dibilang, ‘bagai kerakap tumbuh di batu. Hidup enggan mati tak mau’.

“Sejak munculnya kreasi baru yang lebih dikenal dengan sebutan Tarling Dangdut, seni tradisi khas Cirebon ini telah lama ditinggalkan apresiator dan penggemarnya,” tukasnya. (Abduh)

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *