Oleh: SUTEJA IBNU PAKAR
Tradisi dan budaya doktriner adalah warian sejarah masa lampau generasi feodal. Feodalisme pendidikan Islam dimulai semenjak kejayaan Mataram Islam mengendalikan pendidikan sistem pesantren di bawah kekuasaan Panembahan Senopati dan diperkokoh semasa pemerintahan Sultan Agung Mataram.
Dan, pada akhirnya berlangsung dalam tradisi pendidikan pondok pesantren, madrasah dan lembaga pendidikan tinggi (UIN/IAIN/STAIN).
Untuk beberapa dekade kesan doktriner dan dogmatik masih dialamatkan kepada lembaga pendidikan tradisional semisal pondok pesantren dan madrasah (bukan sekolah).
Udara perubahan dengan munculnya kelompok-kelompok modernis dan rasionalis, secara berangsur menghapus kesan doktriner dan dogmatik dari proses pembelajaran di lembaga pendidikan tinggi semisal IAIN.
Kesadaran itu juga tumbuh subur di kalangan mutakhharij (alumni) pendidikan pesantren. Akan tetapi perubahan dahsyat, yang secara essensial mengulang sejarah feodalisme mulai menyusup kembali kedalam lembaga pendidikan tinggi Islam di Indonesia akibat dari jiwa para praktisi lembaga pendidikan tinggi yang shock culture.
Sejarah memang selalu berulang. Semangat doktirnasi, anarkhisme ilmiah, dan pembunuhan karakter terjadi kembali di lembaga perguruan tinggi Islam.
Akibat salah kaprah memahami percepatan globalisasi sains dan teknologi di dunia perguruan tinggi secara tidak disadari sedang berlangsung anarkhisme ilmiah di satu sisi dan di sisi lain terjadi kultus inividu dan pendewaan terhadap sekelompok ilmuwan tertentu, yang diidolakan tentunya.
Pembunuhan karakter juga tidak bisa dihindarkan. Kenyataan ini justru berlangsung di jenjang pendidikan tinggi dan menjadi makanan “sepesial”
kalangan ilmuwan. Multikulturisme juga memiliki andil tidak kecil dalam hal ini sebagai sumber inspirasi anarkhisme, dan “kebanggan” (bandingan dari tawadhu’) ilmu pengetahuan dan teknologi.
Pendidikan Islam di jenjang pendidikan tinggi telah tercabut dari akar budaya dan kukltur Islam semasa Rasulullah SAW masih jumemeng (hidup). Kemauan melepaskan diri dari doktrin juga sangat kuat dan terbukti membuahkan hasil terlepasnya ikatan-ikatan secara kuktural-kesejarahan genarasi muda dengan generasi terdahulu.
Sikap ketidak mengertian terhadap aspek kesejarahan ilmu pengetahuan dan peradaban Islam, merupakan salah satu penyebab sikap appriori setiap generasi.
Appriori yang terlanjur terpelihara inilah sebenarnya sumber permasalahan pertama yang melahirkan sikap dan perilaku doktrinasi, anarkhisme dan pembunuhan karakter dalam proses pembelajaran di lembaga perguruan tinggi Islam.
Ketika pemahaman yang tidak memihak (neutral) diarahkan kepada aspek kesejarahan umat Islam, kita akan mendapatkan beberapa fakta sejarah pendidikan islam di Indonesia yang tidak seluruhnya baik tetapi juga tidak seluruhnya buruk.
Mencari sisi-sisi kebijakan kultural yang terbebas dari kesan doktriner, dogmatik dan anarkhis mesti diawali dengan penelaahan dan pemahaman kritis terhadap fakta sejarah pendidikan islam di Indonesia. Penelaahan dimaksudkan untuk mencari bukti-bukti konkrit praktek kependidikian yang bersifat doktriner dan dogmatik.
Penemuan ini diharapkan mampu membantu pemahaman baik secara ontologis, epsitemologis ataupun aksiologis tentang pendidikan yang dikesankan sebagai doktriner. Karena, istilah dibentuk oleh sejarah dan bukan sebaliknya.
Pemahaman terhadap fakta sejarah berarti langkah indah memahami kultur atau budaya Islam. Kultur Islam adalah dibentuk oleh kehendak wahyu dan tradisi yang berlangsung sebelum wahyu itu turun ke bumi.
Maka, membebaskan lembaga perguruan tinggi Islam dari kesan dan praktek doktrinasi, dogmatisme, dan anarkhisme mau tidak mau harus dikembalikan kepada sumber wahyu, Allah dan Rasulullah SAW.
Akan tetapi, langkah startegis yang lebih esensial adalah menelaah kembali perjalanan sejarah doktrinasi dan dogmatisme sebelum meloncat jauh ke sumber Islam karena persoalan doktrinasi bukan persoalan penedekatan kewahyuan.
Persoalan doktrinasi adalah persoalan pengalaman sejarah umat manusia yang keliru memahami teks-teks wahyu dan karenanya harus didekati secara humanis-empiris.
Untuk merumuskan kebijakan kukltural pendidikan islam yang terbebas dari kesan doktrinasi selain menggunakan pendekatan kesejarahan dituntut mampu memahami kultur umat Islam itu sendiri.
Pendekatan kulktural adalah kunci bagi perumusan upaya dalam kerangka mencari kebijakan kukltural tersebut. Pendekatan kuktural adalah pendekatan yang memiliki karakter adaptatif, akomodatif dan persuasive terhadap berbagai kemajemukan tradisi dan budaya.
Target utama pendekatan kultural adalah mengislamkan setiap apa pun tanpa harus merubah bentuk dan penampilan luarnya.*