Gemeente Cheribon Fase 1906 sampai 1942 – Sekolah Perempoean

-dok KITLV
SEKOLAH perempoean zaman kolonial.*

Oleh: Nurdin M Noer*

SEKOLAH Dasar (SD) Kartini yang terletak di Jl. Kartini Cirebon dianggap sebagai “sekolah perempoean” pertama di Kota Cirebon. Sejak Republik Indonesia merdeka, sekolah tersebut menghususkan diri untuk kalangan perempuan. Namun ketika memasuki tahun 1960an sekolah tersebut mulai dibagi dua kategori jenis kelamin. Pada pagi hari khusus untuk perempuan dan siang hari untuk perempuan dan laki-laki.

Jl. Kartini yang merupakan jalan protokol Kota Cirebon kemungkinan diambil dari nama sekolah tersebut. “Sekolah Kartini” sangat popular pada zamannya. Umumnya anak-anak gadis lulusan sekolah tersebut masuk ke sekolah lanjutan, yaitu Sekolah Kepandaian Putri (SKP) dekat alun-alun Kebumen Kota Cirebon. SKP kemudian berubah menjadi SKKP (Sekolah Kesejahteraan Keluarga Pertama) dan saat ini menjadi SMP Negeri 16.

Di Indramayu, menurut seorang pendidik setempat Supali Kasim dalam tulisannya pada suplemen Pikiran Rakyat edisi Cirebon (Agustus 2013) tidak lepas dari upaya yang dilakukan R.A. Kartini yang dimulai dari Rembang. Menurut Rosyadi (2010) pada 8 November 1903 Kartni menikah dengan Bupati Rembang, Raden Adipati Djojo Adiningrat. Ia mengikuti suaminya di Rembang dan melaksanakan sebagian cita-citanya, yaitu menyelenggarakan pendidikan untuk anak-anak perempuan.

Di Indramayu terdapat satu Sekolah Kartini yang merupakan sekolah partikelir bersubsidi. Sekolah tersebut kini menjadi SD Negeri Margadadi III, sebelumnya bernama Paoman III. Menurut data yang diperoleh penulis dari catatan Hardjasaputra (2010), tahun 1922 di Indramayu terdapat satu ELS (Europeeschee Lagere School) untuk anak-anak perempuan dan campuran, satu HIS (Hollandsch Inlandsche School) dan 18 sekolah desa (khusus pribumi). Ada pula sekolah partilelir untuk pribumi dan zending. Sekolah partikelir bersubsidi dan tanpa subsidi. Sekolah partikleir tanpa subsidi juga terdapat di Indramayu. Sedangkan sekolah zending berjumlah tujuh sekolah, yakni satu HCS (Holandsch Chineesch School) di Indramayu, empat HIS di Indramayu, Jatibarang, Kandanghaur dan Parean.

Menurut Supali, pada 1922 jumlah murid Sekolah Rendah di Indramayu sebanyak 2.115 (1.054 laki-laki dan 161 perempuan). Murid Sekolah Desa sebanyak 2.657 (2.488 laki-laki dan 209 perempuan). Menurut tokoh masyarakat Indramayu keturunana Cina, Yohanes Ang, pada 1876 berdiri Sekolah Kristen (Holland Chinese Zending School) yang berupa sebuah gedung sumbangan Ny. Liem Keng Ho. Sebelumnya merupakan tempat ibadah. Namun tempat ibadah baru kemudian dibangun pada 22 Juli 1888 yang terletak di Jalan Cimanuk (Tambangan) Indramayu, yang awalnya adalah sebuah rumah milik Tjan Hiang Eng dan disumbangkan untuk dijadikan gereja.

Pada masa Jepang, semua sekolah dasar memiliki derajat yang sama, yang disebut Kokumin Gakko (Sekolah Rakyat). Kebijakan pengajarannya mencakup bahasa Belanda tidak boleh digunakan, bahasa Indonesia harus digunakan di semua sekolah, bahasa Jepang harus diajarkan, adat istiadat Jepang dan pelajaran ilmu bumi harus ditinjau dari segi geopolitis.

Tujuan utama pendidikan di sekolah dilandasi oleh politik Jepang, yaitu pendidikan diarahkan untuk mendidik generasi muda Indonesia berjiwa militer ala Jepang, sehingga dapat dikerahkan untuk membantu Jepang memenangkan Perang Asia Timur Raya. Kronologis perkembangan dunia pendidikan pada zaman penjajahan terasa hanya untuk kepentingan penjajah semata. Secara ontologis, hakikat pendidikan lebih berorientasi bagaimana mengajar siswa agar memiliki keahlian yang kelak bertujuan untuk memenuhi kebutuhan mendasar penjajah. Kebutuhan mendasar itu, seperti menjadi juru tulis atau juru hitung (zaman Belanda) atau tenaga militer (zaman Jepang).

Meski demikian, adanya pendidikan formal seperti itu secara tidak langsung diketemukan juga hakikat manfaatnya. Masyarakat Indramayu merasakan terbukanya wawasan dan penguasaan terhadap beberapa keterampilan, seperti ilmu bumi, bahasa asing (Belanda, Jepang) dan kerampilan membaca, menulis dan berhitung, kata Supali. ***

*penulis adalah pemerhati kebudayaan lokal.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed