Aja Klalen Ang, Pilih Kula

Foto: Merdeka

Catatan Dadang Kusnandar

TAHUN Politik 2018/2019 memberi banyak pekerjaan kepada pegiat politik dan atau mereka yang berkehendak menapak karier di dalamnya. Tak terhitung teman-teman kita yang terdaftar dalam DCT merupakan nama-nama lama. Ada yang tetap di dalam sebuah partai politik, dan ada yang selalu berganti partai politik tiap 5 (lima) tahun sekali. Singkatnya, mendaftarkan diri menjadi caleg merupakan keasikan tersendiri yang disertai harapan menduduki jabatan terhormat.

Pada suatu kesempatan, seorang kawan menghentikan perjalanan saya, ia menyapa sopan sekali (dengan bahasa bebasan Cerbon) lalu mengajak berbincang sejenak. Di samping rumahnya saat itu terdapat kantor cabang sebuah partai politik. Katanya dalam Pemilu Legislatif 2019 ia jadi caleg partai tersebut, maka dari itulah saya diminta ikhlas rido memberikan suara politik untuk dia. Disertai pernyataan, “Bukankah memilih caleg yang Anda kenal lebih baik daripada membeli kucing dalam karung?”.

Lantaran kawan tersebut di atas tinggal satu RW akhirnya kami sering berpapasan di jalan yang sama. Meski tidak setiap bertemu kami ngobrol, ia selalu menitipkan pesan singkat, “Aja klalen ya, Ang. Pilih kula,” Tentu saja untuk menyenangkannya saya berpura-pura menjawab, “Siap, Ang,”. Oh Tuhan, maafkan sikap hipokrit saya.

Seiring perjalanan waktu, ternyata banyak teman-teman lama yang juga menjadi caleg dari partai yang sama dengan teman tersebut di atas. Pernah bertiga kami berbincang singkat di teras rumahnya dan dua-duanya menyampaikan hal yang sama, “Tolong dukung saya, pilih saya 2019 nanti”. Dalam waktu yang sama, dalam obrolan bersama, kedua caleg dari parpol yang sama berebut satu orang yang belum tentu memilih mereka.

Entah kenapa, tetangga sebelah kawan saya itu pun menjadi caleg dari parpol lain. Mereka tinggal satu RT dan sering berkomunikasi/ berkegiatan yang sama. Memasuki tahapan pencalegan dan seterusnya keduanya bagai kurang harmonis. Mungkin karena berebut massa dari dapil yang sama dari parpol yang berbeda.

Ketidakharmonisan itu tampak ketika kawan-kawan itu berada dalam sebuah kegiatan bersama, mereka enggan ngobrol akrab sebagaimana sebelum jadi caleg. Mimik mereka pun berbeda ketika terpaksa harus bicara satu sama lain. Bahkan si A menilai keburukan si B dan sebaliknya si B menilai keburukan si A. Penilaian keburukan itu disampaikannya saat berkomunikasi dengan yang lain.

Apakah mendaftar sebagai caleg dan tinggal satu lokasi (se-RT) kemudian membuat kita tidak bertegur sapa? Pertanyaan ini layak diajukan mengingat faktanya benar-benar ada di sekitar kita. Menjadi caleg dari dapil yang sama dan dari partai politik yang berbeda, sementara sehari-hari tinggal di RT/ RW yang sama, pasti menimbulkan gesekan. Terlebih bila ada caleg yang berani membagi uang kepada warga atau mensponsori kegiatan warga, pasti caleg lain yang kurang modal merasa tersisih. Akibatnya, bila keduanya bertemu dalam acara yang sama maka tidak akan saling menyapa dan duduk berjauhan.

Kendati demikian, pemilu legislatif bukan mengurus soal-soal yang baper tersebut. Risiko menapak di jalan politik pasti sudah dimengerti betul oleh seluruh caleg. Hal-hal kecil berupa gesekan pertemanan/hidup bertetangga adalah biasa, dan itu akan selesai dengan sendirinya. Bukankah bangsa Indonesia ini pemaaf dan pelupa?

Maka begitu pula halnya dengan pendaftaran sejumlah teman yang kini telah tercatat dalam DCT. Biarkan mereka bertarung dengan caranya masing-masing guna meraih keinginannya duduk di gedung parlemen, berjas-dasi membahas persoalan masyarakat. Dan biarkan pula para DCT itu bekerja keras memperoleh dukungan masyarakat di dapilnya masing-masing.[]

Komentar