Sebelum Kamu Menikah

Oleh SEP ANDRY

SETELAH gelap bergerak ke utara dan langit berwarna duka, hujan kemudian jatuh lebih deras dari biasanya.

Kau berkabar melalui pesan WhatsApp. Kita batal bertemu.

“Karena hujan?,” tanyaku.

“Lebih dari itu. Kita tak punya apa yang kamu mau, termasuk alasan bertemu.”

Tak ada lagi percakapan setelah itu. Ada jeda kosong yang berlalu, dan percakapan menggantung yang juga tak ingin ku selesaikan: kehilangan akan selalu lebih sakit dari yang diperkirakan. Seperti pertemuan yang tak pernah bisa direncanakan. Atau cinta yang hanya menunggu kedatangan.

Kamu tahu: hatiku tak seluas langit saat bumi meminta hujan. Mengalirkannya dari sungai menuju pantai. Kemudian menunggu. Menanti kembali. Sedangkan rindu adalah kemarau yang lambat dan memanjang.

Setelah itu, aku sibuk dengan pikiranku sendiri. Dan kamu mungkin sibuk dengan segala yang aku tidak tahu: menentukan tanggal dan warna undangan, lokasi bulan madu, atau menahan lapar demi ukuran gaun pengantinmu.

Siapapun termasuk kamu tak perlu khawatir. Demi bertahan hidup, barangkali aku akan membaca satu-dua buku motivasi. Atau sesekali ikut seminar ESQ seperti di tempat kerja kita dulu: mendengar musik instrumen sedih, sambil membayangkan mati.

Seorang pelayan cafe datang, mengantarkan kopi dan sayap goreng yang biasa kamu pesan. Tapi momen selalu menolak untuk diulang, sekeras apapun kita berusaha: cafe yang sama, meja bahkan musik yang juga sama, tak pernah menjadi seperti kamu yang sama. Di antara keramaian pengunjung cafe, aku merasakan kosong yang sepi.

Sesaat setelah kopi ku habis, hujan reda tepat pukul 8 malam. Aku suka bau sehabis hujan. Bau tanah dan daun basah, yang mengingatkanku tentang arah pulang dan rumah.

: tapi, masihkah kamu mengingatku seperti dahulu?

Mungkin sesekali atau lebih jarang dari itu. Karena kamu akan sibuk menjadi ibu: melahirkan anak dan memberinya nama penanda doa terbaikmu. Memelihara kucing atau menyiram bunga-bunga, sembari memasak sop ayam kesukaan ayah ibu.

Tapi kamu juga tahu. Benci dan melupakan banyak orang akan jauh lebih mudah. Ketimbang pura-pura benci kepada satu orang, dan berharap bisa melupakan.

Maka sesempatmu: ingatlah aku sebagai hangat yang perlahan hilang saat hujan turun, yang kamu cari saat tubuhmu menggigil. Atau seperti terang yang bergerak-jauh ke barat, saat malam-malammu gelap dan meresahkan. Ingatlah aku sebagai rindu yang lepas dari waktu, juga tak butuh kata dan temu.

Sebelum kamu menikah, aku akan menuliskanmu puisi. Mungkin yang terakhir, mungkin juga tidak. Seperti yang selalu kamu bilang: Padamu aku selalu ingkar janji, termasuk untuk pergi dan membenci.

Pukul 10 malam satu persatu pengunjung cafe pergi. Menyisakan piring dan gelas kosong. Angin bergerak lambat dari semestinya. Dingin dari biasanya. Besok aku akan kembali. Menghubungimu dan mencoba lagi. Semoga cuaca cerah dan kamu belum menikah. []

Komentar